Rabu, 29 Agustus 2018

KH. AHMAD DAHLAN TERMAS

"KH Ahmad Dahlan" Bukan Pendiri Muhammadiyah, Tapi Ahli Falak

Oleh M. Rikza Chamami

DutaIslam.Com - Salah satu ulama Nusantara yang dikenal ahli dalam bidang ilmu falak adalah KH Ahmad Dahlan yang lahir di Termas Pacitan Jawa Timur 1862 dan wafat di Semarang 1911. Makam KH Ahmad Dahlan berada di sisi timur Makam KH Sholeh Darat di Makam Bergota Semarang. Menyebut nama Ahmad Dahlan memang orang menjadi tertuju pada sosok pendiri Muhammadiyah. Dan ternyata dua sosok bernama yang sama itu, KH Ahmad Dahlan Termas dan KH Ahmad Dahlan Yogyakarta, sama-sama mengaji di Pondok Pesantren KH Sholeh Darat.

KH Ahmad Dahlan Termas (sebagian orang menyebut KH Ahmad Dahlan Semarang) merupakan putra dari Abdullah bin Abdul Mannan bin Demang Dipomenggolo I yang merupakan keturunan Ketok Jenggot punggawa Keraton Surakarta, tokoh cikal bakal berdirinya daerah Termas. Dipomenggolo I merupakan seorang santri ahli agama yang berdarah bangsawan yang mendirikan Pesantren Semanten. Salah satu putra Dipomenggolo bernama Mas Bagus Sudarso juga dikirim belajar agama di Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo. Di pesantren yang juga mengkaji budaya ini diasuh Bagus Burhan atau Ronggowarsito.

Kakak dari KH Ahmad Dahlan adalah KH Mahfudz Termas (1842-1920) dan adiknya bernama KH Dimyati Termas (wafat 1934). Tiga bersaudara ini memiliki keilmuan yang sangat luar biasa. Dunia pesantren sangat mengakui peran besar kakak-beradik ini dalam keilmuan-keilmuan agama Islam terutama paham ahlussunnah wal jama’ah.

Sehingga sosok KH Ahmad Dahlan yang sangat pandai tidak bisa dilepaskan dari kiprah keluarganya. Keluarga Termas memang sudah dikenal melahirkan ulama Nusantara yang sangat berkontribusi besar dalam dunia pesantren. Misalnya KH Mahfudz Termas dikenal sebagai ulama yang memiliki puluhan karya kitab dan spesialis di bidang hadits, telah mencetak murid yang menjadi ulama pesantren.

Keahlian KH Ahmad Dahlan Termas dalam bidang ilmu falak ditandai dengan penyebutan namanya dengan sebutan KH Ahmad Dahlan Alfalaky. Kepandaiannya dalam ilmu agama, menjadikannya diambil sebagai menantu KH Sholeh Darat. Ia dinikahkan dengan putri KH Sholeh Darat bernama RA Siti Zahra dari jalur istri RA Siti Aminah binti Sayyid Ali. Dari pernikahan ini, pada tahun 1895, melahirkan anak bernama Raden Ahmad Al Hadi yang kelak ketika dewasa menjadi tokoh Islam di Jembrana Bali.

KH Ahmad Dahlan memulai pendidikannya dari para Kyai yang ada di Termas kemudian melanjutkan belajar kepada kakaknya KH Mahfudz Termas yang ada di Makkah. Saat di tanah suci inilah KH Ahmad Dahlan bersahabat dengan ahli falak Syaikh Muhammad Hasan Asy’ari Bawean Madura (wafat 1921). Syaikh Muhammad Hasan Asy’ari mempunyai karya Kitab Muntaha Nataiji al Aqwal.

Dalam buku Materpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1320-1945 karya Zainul Milal Bizawie disebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan dan Syaikh Muhammad Hasan Asy’ari berangkat menuju beberapa wilayah Arab dan menuju ke Al Azhar Kairo. Di Kairo keduanya berjumpa dengan dua ulama Nusantara: Syaikh Jamil Djambek dan Syaikh Ahmad Thahir Jalaludin. Selama di Kairo, keduanya mengkhatamkan kitab induk ilmu falak karya Syaikh Husain Zaid Al Mishri, Al Mathla’ fi Al Sa’id fi Hisabi al Kawakib ‘ala Rashdi al Jadid yang ditulis awal abad 19.

Setelah selesai belajar di Arab, kemudian ia pulang ke tanah air. Berdasarkan saran dari kakaknya, sesampai di tanah air KH Ahmad Dahlan bersama dengan Syaikh Hasan Asy’ari diminta untuk belajar agama dengan KH Sholeh Darat di Semarang. Maka pesan itu dilaksanakan. KH Ahmad Dahlan mengaji dengan KH Sholeh Darat di Semarang. Dan sudah menjadi tradisi para ulama Nusantara, para santri yang sudah belajar di Arab tetap diminta belajar di Indonesia lagi, terutama dengan KH Sholeh Darat atau KH Cholil Bangkalan.

Karya-karya di bidang Falak yang dilahirkan oleh KH Ahmad Dahlan adalah: Tadzkiratu al Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal ‘Amali al Falakiyati (selesai ditulis 1901), Natijah al Miqat (selesai ditulis 1903) dan Bulughu al Wathar (selesai ditulis 27 Dzul Qa’dah 1320 di Darat Semarang). Ditengarai, masih banyak karya-karya KH Ahmad Dahlan yang sampai sekarang belum terlacak.

Dalam Kitab Tadzkiratu al Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal ‘Amali al Falakiyati ditegaskan oleh Zainul Milal Bizawie sebagai kitab hisab awal bulan pertama yang ditulis oleh ulama Nusantara. Ini menjawab atas dugaan selama ini bahwa kitab hisab awal bulan yang pertama ditulis adalah Sullam Nayyirin yang baru ditulis 1925. Pola kitab karya KH Ahmad Dahlan masih menggunakan angka Abajadun dengan memakai Zaij Ulugh Beik.

Kitab Natijah al Miqat berisi tentang kaidah ilmu falak tentang penggunaan rubu’ mujayyab dalam penentuan awal waktu shalat dan arah kiblat. Dalam kitab ini juga dirangkumkan pemikiran-pemikiran guru KH Ahmad Dahlan: Syaikh Husain Zaid Mesir, Syaikh Abdurrahman bin Ahmad Mesir, Syaikh Muhammad bin Yusuf Makkah dan KH Sholeh Darat. Kemudian pada tahun 1930, kitab Natijah al Miqat disyarahi oleh Syaikh Ihsan Jampes (wafat 1952) dengan kitabnya Tashrihu al Ibarat.
Kitab Bulughu al Wathar ini merupakan kitab falak pertama yang ditulis ulama Nusantara dengan sistem haqiqi tahqiqi. Kitab ini selesai ditulis bersamaan dengan kitab Muntaha Nataij al Aqwal karya Syaikh Hasan Asy’ari Bawean. Induk kitab yang dirujuk dalam membuat Bulughu al Wathar dan Muntaha Nataij al Aqwal berasal dari ilmu zaij Kitab Al Mathla’ fi Al Sa’id fi Hisabi al Kawakib ‘ala Rashdi al Jadid karya Syaikh Husain Zaid Al Mishri.

Khazanah keilmuan falak yang dimiliki oleh KH Ahmad Dahlan dan Syaikh Hasan Asy’ari Bawean ini yang turut serta mewarnai perkembangan ilmu falak di Pondok Pesantren. Dinamika keilmuan falak di dunia pesantren selalu merujuk pada kajian-kajian ilmiah ulama Nusantara yang mampu mengembangkan ilmu falak yang berasal dari Arab.

KH Ahmad Dahlan dalam kesehariannya, bersama keluarga menempati rumah di sekitar Masjid Agung Kauman Semarang. KH Ahmad Dahlan selain dikenal sebagai ulama, juga ahli dalam bidang dagang dan tergolong berekonomi kuat (punya banyak toko di Pasar Johar). Bekal itulah yang digunakan untuk berjuang membangun dakwah Islam di Kota Semarang. Dan sepeninggal KH Sholeh Darat pada tahun 18 Desember 1903, Pondok Pesantren Darat diasuh oleh KH Ahmad Dahlan.

Selama kurang lebih delapan tahun, KH Ahmad Dahlan menggantikan guru sekaligus mertuanya mendidik para santri yang belajar ilmu agama di Pondok Pesantren Darat. Dengan segala dedikasi penuh, para santri yang mengaji di Pondok tersebut diajar sebagaimana cara KH Sholeh Darat mendidik. Termasuk KH Ahmad Dahlan mengajarkan ilmu falak kepada para santri-santrinya dengan menggunakan tiga kitab falak yang ditulisnya.

Keahlian ilmu falak yang dimiliki oleh KH Ahmad Dahlan tidak pernah lepas dari keahlian falak yang dimiliki oleh KH Sholeh Darat. Dalam beberapa kisah disebutkan bahwa KH Sholeh Darat yang merupakan guru dari ulama Jawa ini sangat tepat dalam menghitung waktu shalat dan penentuan awal bulan Ramadan dan Syawwal.

Proses penegasan dalam penentuan waktu shalat dan Ramadan ia tegaskan dalam beberapa karyanya. Termasuk keterbukaan KH Sholeh Darat dalam mengawal tradisi “Dugderan” di Kota Semarang sebagai bentuk kepedulian ilmu falak dan ilmu sosial. Dimana ketika masyarakat Semarang ingin menyambut kehadiran Ramadan dirayakan dengan bunyi-bunyi bedug dan petasan, maka disebut dug der (dug bunyi bedug dan der bunyi petasan).

Keahlian falak yang dimiliki KH Sholeh Darat adalah ketika diminta menghitung jumlah palawija yang ada di dalam karung oleh Belanda. Dengan sangat cepat berdasar ilmu hitung falaknya, maka KH Sholeh Darat memberikan jawaban dengan tepat. Kekaguman Belanda pada prediksi jumlah isi palawija itulah yang menjadikan Belanda kagum dengan ilmu falak KH Sholeh Darat.

Putra KH Ahmad Dahlan yang bernama Raden Ahmad Al Hadi berdakwah menuju Loloan Timur Jembrana Bali adalah karena mendapatkan isyarat dari KH Cholil Bangkalan (1820-1925) selaku gurunya. Selain itu, setelah KH Ahmad Dahlan wafat, Ibunya menikah lagi dengan KH Amir dan pindah ke Simbang Kulon Pekalongan. Dengan bekal ilmu agama yang dimiliki itu, putra KH Ahmad Dahlan bernama Ahmad ini berdakwah ke Bali.

Sebagaimana ayahnya, Raden Ahmad Al Hadi sangat senang dengan ilmu pengetahuan agama. Walaupun sejak kecil sudah dilatih berdagang di Pasar Johar Semarang, namun Raden Ahmad Al Hadi tetap semangat mengaji. Sehingga di usia 16 tahun ketika ia ditinggal wafat KH Ahmad Dahlan ia ikut belajar di Pondok Pesantren ayah tirinya, KH Amir. Setelah itu ia merantau dari pondok ke pondok hingga pernah belajar Makkah.

Sebagaimana dijelaskan oleh KH Fathur RA (anak kandung Raden Ahmad bin Ahmad Dahlan), bahwa Raden Ahmad sangat tinggi minat belajarnya. Pondok Pesantren yang dijadikan tempat mencari ilmu adalah: Pondok Pesantren Kaliwungu (berteman dengan KH Abul Choir selama dua tahun), Pondok Pesantren Buntet Cirebon (belajar ilmu silat), Pondok Pesantren Kyai Umar Sarang (belajar ilmu alat), Pondok Pesantren KH Munawwir Krapyak Yogyakarta (belajar Al Qur’an), Pondok Pesantren KH Dimyati Termas, Pondok Pesantren KH Idris Jamsaren Solo.

Setelah tamat dari Pondok Manbaul Ulum Jamsaren Solo dengan bekal Beslit dari Governoor Belanda Jawa Tengah, Raden Ahmad melanjutkan belajar ke Makkah dan Madinah berguru dengan pamannya sendiri, KH Mahfudz Termas.

Sepulang dari Arab, Raden Ahmad masih mengaji dengan KH M Hasyim Asy’ari di Jombang (satu tahun) dan KH Cholil Bangkalan Madura (satu tahun). Saat di Bangkalan inilah ia bertemu dengan KH Kusairi Shiddiq (mertua KH Abdul Hamid Pasuruan). Perintah Kyai Cholil pada Raden Ahmad adalah menuju Bali bertemu dengan murid Kyai Cholil yang bernama Tuan Guru Haji Muhammad di Loloan Timur Jembrana Bali. Dan ia jalani hingga mendirikan Pondok Pesantren Manba’ul Ulum di Jembrana Bali. Nama “Manba’ul Ulum “ adalah tabarrukan dengan almamaternya saat mondok di Jamsaren. Wallahu a’lam. [dutaislam.com/ ab]
M. Rikza Chamami, 
Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang dan Dosen UIN Walisongo

Rabu, 09 Januari 2013

SYARIF ABDULLAH BIN YAHYA AL QODRI (SYARIF TUA) TOKOH PENDIRI KAMPUNG LOLOAN JEMBRANA 1799 – 1858

TOKOH PENDIRI KAMPUNG LOLOAN JEMBRANA
1799 – 1858
I Made Sumarja
ABSTRACT
Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (The Old Syarif) is a figure from Pontianak, who was very opposing to the Dutch government colonial. Since the signing of cooperative work between the Dutch and Sultan Pontianak on 5 July 1779, the Old Syarif rebelled and he escaped to Jembrana in the west of Bali. On his arrival in Jembrana, the Old Syarif and his followers approached the king of Jembrana. They were well accepted by the King and they were even given a place for their settlement in around of river Ijo, which later this place is called Kampung Loloan. Since then the Old Syarif gave support to Jembrana kingdom, as well as in the politics, economics and spreading of Islam religion. The Old Syarif was very wise and helpful, so as a figure in Kampung Loloan he was very admired by society.
Keyword: Biography - History Figure
A. PENDAHULUAN
Menulis biografi seorang tokoh, sejak dahulu dirasakan penting manfaatnya. Biografi berarti kumpulan informasi mengenai kehidupan dan kegiatan tokoh dari berbagai bidang yang dianggap penting dan memegang peranan di dalam proses pembangunan masyarakat di suatu wilayah. Biografi dari salah satu tokoh yang telah mendahului kita perlu ditulis karena beliau telah mengorbankan jiwa raganya untuk generasi sesudah beliau. Mungkin generasi sekarang masih mengenal beliau, namun generasi sesudah kita mungkin tidak mengenal lagi. Makin lama makin kabur jasa beliau dalam ingatan generasi-generasi sesudah kita dan akhirnya mereka akan melupakannya. Jika itu terjadi, alangkah sayangnya. Melupakan seseorang yang telah berbuat baik bagi kita merupakan sesuatu yang menunjukkan kekurangan dalam sikap baik kita jika tidak mau mengatakan kekurangan dalam moral kita. Sebagai bangsa yang baik kita harus mengenal terima kasih, harus tidak melupakannya, harus tetap mengenangnya karena beliau sebagai cermin kehidupan baik kita. Semuanya itu merupakan kewajiban kita sebagai penghormatan kepadanya (Soebantardjo, 1983: 31).
Tokoh sejarah juga mempunyai arti dan nilai penting bagi kehidupan bangsa dan negara. Perlu dikenal dan dihayati nilai-nilai pengabdiannya, inovasi, responsivitas, kepemimpinan, sikap keterbukaan, kreativitas, kewibawaan, dan integritas kepribadian dalam pembangunan bidang sosial, dan budaya bangsa. Dengan penulisan biografi Syarif Abdullah Bin Yahya Al Qodri (Syarif Tua) diharapkan dapat menjadi sarana peningkatan pengetahuan masyarakat dalam rangka pembangunan mental bangsa, pembinaan persatuan bangsa, dan membangkitkan kebanggaan nasional.
B. KEADAAN HISTORIS JEMBRANA
Daerah Jembrana pada mulanya hanyalah merupakan hutan belantara dari ujung timur wilayahnya sampai ujung barat dan banyak dihuni oleh binatang buas, sehingga tidak seorangpun manusia yang berani masuk ke daerah itu apalagi sampai tinggal menetap di sana. Perkembangan selanjutnya datanglah orang-orang buangan yang berasal dari Bali timur dan orang yang melakukan migrasi ke daerah Jembrana dengan tujuan untuk mempertahankan hidupnya di daerah yang baru dengan bekerja keras. Selain itu ada juga masyarakat yang berasal dari Pulau Jawa. Mereka pada umumnya mengembil tempat pemukiman di daerah pesisir pantai karena sebagian besar mata pencaharian mereka adalah hidup sebagai nelayan. Sedangkan para migran yang datang dari Bali timur pada umumnya hidup dengan mata pencaharian sebagai petani baik kebun maupun sawah (Puspawati, 1990: 25-27).
Asal-usul dari daerah Jembrana erat kaitannya dengan nama Jambu Ratna dan Jaran Rana. Kedua nama ini masing-masing mempunyai kisah tersendiri. Nama Jembrana erat kaitannya dengan nama sebuah istana (puri) yang dibangun oleh I Gusti Ngurah Jembrana, keturunan I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng (Raja Mengwi III). I Gusti Ngurah Jembrana pergi ke Bali barat yang terletak di ujung barat Pulau Bali, diikuti oleh kakeknya yang bernama I Gusti Kaler, pendeta Ida Pedanda Gde Megati dan Ida Pedanda Gde Mambal, I Gusti Ngurah Made Yasa serta diikuti oleh 400 rakyatnya. Setelah tiba di wilayah Bali barat, di daerah ini mereka kemudian membangun sebuah istana (puri). Kebetulan di sebelah barat istana yang di bangun terdapat pohon Jambu yang bernama Jambu Ratna. Selesai istana dibangun, kemudian diberi nama Puri Gede Jembrana dan daerah tempat istana dibangun dinamakan Jambu Rana kemudian disebut Jembrana. Ada juga yang menyebutkan bahwa Jembrana berasal dari nama seekor kuda yang bernama Jaran Rana. Istilah Jaran Rana ini erat kaitannya dengan terjadinya peperangan antara Pecangakan dengan Bakungan yang berawal dengan kuda yang bernama Jaran Rana (Buda, 1990: 21-23).
Diangkatnya Gajah Mada menjadi Maha Patih di Majapahit oleh Prabhu Wisnuwardana tahun 1331 M, maka ketika itu Gajah Mada mengucapkan sumpahnya di hadapan para bangsawan, bahwa beliau tiada akan makan “Palapa” (rempah-rempah) sebelum seluruh kepulauan Nusantara dapat dikuasainya atau dipersatukan di bawah Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu Bali Aga masih merdeka penuh, dan Raja Majapahit kurang senang mendengar perbuatan Dalem Bedahulu (Bedulu) yang disangka menentang atau merusak agama di Bali dan tidak mau takluk kepada Majapahit. Alasan inilah yang dipakai untuk menaklukkan Bali (Nyoka, 1990: 3).
Bali mengalami perubahan setelah diambil alih dari tangan Dalem Bedahulu yang bergelar Sri Astasura Ratna Bhumi Banten (Raja Bali) oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit pada tahun 1343 M. Keadaan Pulau Bali bertahun-tahun masih penuh kekacauan dan terjadi pembrontakan di sana-sini. Masih banyak juga orang-orang yang tidak mau tunduk kepada majapahit. Untuk mengatasi hal ini Patih Gajah Mada mohon kepada Dhanghyang Kepakisan agar beliau berkenan memberikan seorang putranya untuk diangkat menjadi Adipati di Bali. Beliau memberikan putranya yang bungsu bernama Sri Kresna Wangbang Kepakisan dan dilantik menjadi Adipati, abiseka Dalem Ketut Kresna Kepakisan, berkedudukan di Samprangan pada tahun 1352 M. Kedatangan Dalem Ketut Kresna Kepakisan di Bali didampingi oleh 11 para Arya, yaitu: Arya Kanuruhan, Arya Wangbang, Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya Tumenggung, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Munguri, Arya Pangalasan dan Arya Kutawaringin (Anak Agung Ktut Agung, 1991: 12., S. Swarsi, dkk, 1998/1999: 27-30).
Dalem Ketut Kresna Kepakisan beristana di Samprangan, sedangkan Patih Baginda di Nyuhaya, sehingga terkenal sebutan I Gusti Nyuhaya di masyarakat. Adapun para menteri yang lainnya diberikan tempat kedudukan masing-masing, Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carang sari, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Kriyan Punta di Mambal, Arya Jrudeh di Tamukti, Kriyan Tumenggung di Patemon, Arya Demung Wang Bang Kediri di Kretalangu, Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang Mataram tidak menetap di suatu tempat dan boleh dimana saja, Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Arya Gajah Para dan adiknya yaitu Arya Getas bertempat di Toyanyar. Begitulah asal mulanya, dan seluruh penempatan ini atas perintah Patih Gajah Mada (I B Rai Putra, 1991: 10-11).
Arya Malel Cengkrong di tempatkan di Jembrana adalah arya dari Pejarakan merupakan pasukan berkuda Majapahit. Setelah Arya Malel Cengkrong wafat, digantikan oleh keturunannya yakni I Gusti Ngurah Gde Pecangakan, I Gusti Ngurah Bakungan dan I Gusti Ngurah Pancoran. I Gusti Ngurah Bakungan mendirikan istana di daerah Gilimanuk Cekik yang bernama Puri Bakungan, sedangkan I Gusti Ngurah Pecangakan mendirikan istana yang bernama Puri Pecangakan dan I Gusti Ngurah Pancoran menjabat Manca agung di Pacangakan.
Awalnya kedua kerajaan ini hidup berdampingan dengan damai, namun akhirnya mengalami persaingan karena disebabkan oleh seekor kuda. I Gusti Ngurah Gde Pecangakan memiliki kuda putih yang bernama Jaran Rana. I Gusti Ngurah Bakungan ingin sekali memiliki kuda putih tersebut. Akhirnya terjadi peperangan antara Bakungan dengan Pecangakan yang berawal dari upacara adat Dewa Yadnya di Puri Bakungan. I Gusti Ngurah Gde Pecangakan diundang untuk menghadiri upacara, namun undangan ini dianggap prasangka buruk dan beliau berpesan kepada I Gusti Ngurah Pancoran dan segenap keluarga puri, “Apabila kudaku kembali ke istana (puri) bermandikan darah tanpa aku datang, itu berarti aku telah tertipu dan terbunuh oleh adik Bakungan. Para istri supaya melakukan bunuh diri (dharma satya) dan segenap harta benda (raja brana) disembunyikan di dalam tanah puri. Arya Pancoran harus menuntut balas dan menghancurkan habis-habisan istana/puri dan isi Bakungan”.
Setelah pesan disampaikan, rombongan I Gusti Ngurah Pecangakan beragkat ke Bakungan dan sampai disana diterima dengan baik. Keesokan harinya diadakan penyembelihan ternak sapi, kerbau dan babi untuk perlengkapan upacara. Kuda putih kesayangan I Gusti Ngurah Gde Pecangakan menjadi liar dan lepas dari kandangnya. Kejadian ini dilaporkan dan diperintahkan untuk segera mengejarnya namun tidak berhasil. Kuda putih yang melarikan diri dari Bakungan tiba di Pecangakan sehingga mengejutkan keluarga puri dan seluruh rakyatnya. Karena teringat dengan pesan yang disampaikan oleh I Gusti Ngurah Gde Pecangakan, maka para istri melakukan bunuh diri (satya) dan harta benda disimpad di dalam sumur puri. I Gusti Ngurah Pasncoran dengan pasukannya berangkat ke Bakungan untuk menuntut balas dan menghancurkan Puri Bakungan, namun tidak menemukan mayat I Gusti Ngurah Gde Pecangakan. Akhirnya diputuskan untuk kembali pulang ke Pecangakan, dan setelah tiba di Pecangakan I Gusti Ngurah Pancoran kaget karena I Gusti Ngurah Gde Pecangakan masih hidup, lalu diceritrakan hal yang mereka lakukan di Bakungan. Akhirnya I Gusti Ngurah Bakungan murka dan menantang perang tanding dengan I Gusti Ngurah Gde Pecangakan di sebuah pulau kecil di sebuah sungai yang disebut pulau kembar. Dalam perang tanding itu keduanya sama-sama tewas. Para arya, brahmana dan rakyat yang masih hidup menamakan daerah/negeri Bakungan dan Pecangakan yang telah musnah disebabkan oleh kuda putih bernama Jaran Rana dengan nama Jembrana (Buda, 1990: 24-26). Bahkan Danghyang Nirartha dalam perjalanannya ke Bali dari Pulau Jawa menyebutkan daerah Bali barat yang dikunjunginya dengan nama Jembrana (Toetoer Lambangkawi, No. 1339/Va: 1-2).
Ada lagi ceritra yang beredar di masyarakat bahwa Jembrana berasal dari Jimbar Wana yang diartikan sebagai berikut; Jimbar artinya besar, Wana artinya hutan. Jimbaran Wana artinya hutan yang besar. Dari cerita-cerita itulah kemudian kata-kata Jaranbana menjadi Jembrana. Begitu pula kata-kata Jimbar Wana menjadi Jembrana. Meskipun cerita dongeng ini telah lama tersebar di antara desa-desa yang ada dengan versi yang berbeda-beda, namun kenyataannya cerita ini masih tetap hidup di kalangan masyarakat Jembrana sampai saat ini (Jayus, 1993: 1-2).
a. Asal-Usul Nama Negara.
Kota Negara yang ada sekarang ini termasuk wilayah swapraja Jembrana sejak masa pemerintahan Sunda Kecil, begitu pula pada masa pemerintahan Bali dan Nusa Tenggara (Raka, 1955: 101). Nama Negara berdasarkan kisah di masa lampau atau berdasarkan legenda yang berkembang di masyarakat ada dua versi yakni: Negara berasal dari kata Naga Ru yang artinya Naga Dua, menurut penuturan kakek A. Damanhuri bernama Harun yang juga sebagai guru penari di puri Negara. Beliau wafat pada tahun 1952 dengan usia 125 tahun menuturkan bahwa, beliau berkali-kali menyaksikan bilamana terjadi air banjir besar di Sungai Ijo Gading terlihat dua buah cahaya seperti lampu terapung mengikuti arus menuju muara. Konon cahaya itu adalah dua ekor ular naga, menuju hutan Gunung Sembulungan (timur Kota Muncar Banyuwangi). Kisah tersebut sangat memasyarakat dikalangan umat Hindu dan Muslim Jembrana, sehingga kisah tersebut merasuk ke dalam jiwa para seniman Jembrana, terbukti bila para seniman Jembrana melukis atau mengukir pada alat-alat kesenian tidak luput dari lukisan atau ukiran berupa dua ekor naga sebagai penghiasnya.
Negara juga berasal dari kata Negari yang dikaitkan dengan sebutan kota yang dibangun pada tahun 1679 di atas kawasan Negara, yang kini disebut kota lama. Orang-orang suku bugis dan Melayu yang datang ke Jembrana memasuki kawasan Negara mulai tahun 1653-1669, secara umum menggunakan bahasa melayu yang hingga kini disebut bahasa Loloan. Oleh karena itu maka sebuah kota menurut orang-orang Melayu disebut Negari, sehingga Puri Agung yang dibangun oleh kerajaan Jembrana, letaknya kira-kira 1 Km sebelah utara kota selesai dibangun pada tahun 1803 diresmikan dengan nama Puri Agung Negari. Semakin lama kota semakin ramai dan bertambah maju, sehingga Puri Agung Negari berubah namanya menjadi Puri Agung Negara yang kemudian menjadi Kota Negara (Damanhuri, 1993: 1-2). Ada juga yang menyebutkan bahwa Negara berasal dari kata Sansekerta yang artinya Kota (Parwata, 1994: 19).
Menurut Achmad Damanhuri, menyebutkan bahwa sejak diresmikannya kota lama oleh penguasa I Gusti Ngurah Pancoran pada tahun 1679 merupakan indikasi dan sekaligus merupakan batu pijakan bagi awalnya sejarah lahirnya Kota Negara sebagai Ibu Kota Kabupaten Daerah Tingkat II Jembrana. Sedangkan menurut Ida Pedanda Gede Sigaran dan I Ketut Serung mengemukakan bahwa Kota Negara lahir pada Purnamaning Kasa, tanggal 27 Juni 1800. Lahirnya kota Negara identik dengan berdirinya istana raja, di mana letak istana raja di sanalah letak pusat pemerintahan dan sekaligus menjadi ibu kota kerajaan. Penentuan angka tahun tersebut didasarkan pada pendirian Puri agung Negeri oleh Anak Agung Putu Seloko yang terletak satu kilo meter sebelah utara bandar Pancoran, dan pada saat itu juga raja Anak Agung Putu Seloko berpindah dari Puri Gede Jembrana ke Puri Agung Negeri sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Jembrana.
Berdasarkan data arsip, identifikasi mengenai hari, tanggal, bulan dan tahun kelahiran kota, dalam hal ini kelahiran Kota Negara telah ditemukan dalam Staatsblad van Nederlandsch-indie No. 175 tahun 1895 mengenai nama-nama ibu kota (hoofdplaatsen) afdeeling-afdeeling Buleleng dan Jembrana. Staatsblad-staatsblad sebelumnya sama sekali belum pernah menyebutkan adanya perkataan hoofdplaat (ibu kota) terhadap Negara secara resmi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan sumber resmi yang diundangkan dan diterbitkan oleh Pemerintah Dalam Negeri atas nama Ratu, dengan perwakilannya Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, dapat disebut sebagai fakta lahirnya Ibu Kota Negara. Dinyatakan mulai berlakunya sejak ditetapkan di Buitenzorg tanggal 15 Agustus 1895, hari Kamis Paing, wuku Prangbakat (Tim Penulis, 1997: 55-59).
Demikianlah dikisahkan asal-usul nama daerah yang terletak diujung barat pulau Bali yang sampai kini masih tetap disebut Jembrana dengan Ibu Kotanya Negara.
b. Masuknya Suku Pendatang di Jembrana.
Mengenai kapan masuknya orang-orang asing ke Bali, khususnya di Jembrana belum dapat dipastikan karena sumber-sumber yang mendukung belum ditemukan. Sumber lokal menyebutkan bahwa kedatangan orang asing yang pertama di Jembrana adalah orang Bugis pada pertengahan abad 17. Mereka datang dari Makasar sewaktu terjadi peperangan antara kerajaan di Sulawesi Selatan. Pada saat itu juga datang pasukan Belanda (VOC) untuk merebut daerah Makasar, dan berhasil merebutnya setelah diadakan perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Abad ke-16 di Sulawesi Selatan telah ada beberapa kerajaan yang berdiri sendiri seperti Kerajaan Gowa-tallo, Wajo, Bone, Luwu dan Sopeng. Persaingan antar kerajaan terjadi terutama kerajaan Gowa dengan kerajaan Bugis (Wajo, Luwu, Bone, dan Sopeng). Peperangan antar kerajaan terjadi karena perebutan kekuasaan di Sulawesi Selatan. Dalam peperangan Gowa selalu unggul dibandingkan dengan Bone, sehingga Bone bersekutu dengan Wajo dan Sopeng. Persatuan tiga kerajaan Bugis (Wajo, Bone dan Sopeng) disebut Tellumpoccoe (Buda, 1990: 43-44).
Gerakan peng-Islaman yang diserukan kerajaan Gowa ditolak oleh persekutuan kerajaan Bugis, sehingga terjadi peperangan di Sulawesi Selatan. Satu persatu kerajaan Bugis dapat ditaklukkan seperti Sopeng dapat ditundukkan pada tahun 1609, Wajo ditundukkan tahun 1610 dan Kerajaan Bone dapat ditaklukkan pada tahun 1611. Gerakan peng-Islaman di Sulawesi selatan baru dianggap selesai setelah Kerajaan Bone menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan.
Sejak perjanjian Bongaya dilaksanakan di Sulawesi Selatan tahun 1667, terdapat orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Jawa. Pelarian orang-orang Bugis ini membawa dendam kepada Belanda, begitu pula Belanda berusaha menghancurkan orang-orang Bugis yang dianggap membahayakan kekuasaan pemerintah Belanda. Orang-orang Bugis mengembara sambil memberikan bantuan kepada para musuh-musuh kompeni (VOC).
Di Bali pengaruh kekuatan Belanda pada abad ke-17 dan 18 belum begitu nampak sehingga pelarian orang-orang Bugis dari Sulawesi Selatan dengan aman dapat berlabuh di pantai-pantai pulau Bali. Di Bali mula-mula mereka mendarat di tiga tempat yakni di pantai Lingga di Buleleng, Serangan di Badung dan Air Kuning di Jembrana.
Pendaratan orang-orang Bugis di pantai Lingga Buleleng terjadi karena menyerahnya Raja Hasanudin kepada Belanda dan pada tahun 1667 terpaksa Makasar diserahkan.Sejak itulah banyak orang-orang Bugis dan Mandar yang melarikan diri ke selatan yang antara lain ke Bali di antaranya ada yang bertempat tinggal di pantai Lingga Buleleng. Karena orang-orang ini dianggap bajak laut oleh Belanda dan oleh penduduk Buleleng sehingga Aji Mampa dan pengiringnya terpaksa meninggalkan pantai Lingga menuju ketimur dan menetap di sebuah kampung Bugis (Ginarsa dalam Saidi, dkk, 2002: 73-77).
Masuknya orang-orang Bugis di Serangan- Badung, ditinjau dari sudut ekonomi terjadi karena adanya hubungan dagang antara orang-orang Bugis dari Sulawesi Selatan dengan orang-orang Bali yang bertempat tinggal dalam wilayah kerajaan Badung sejak abad ke-17. Dari hubungan dagang akhirnya meningkat kepada hubungan yang bersifat persahabatan di antara orang-orang Bugis tersebut dengan pihak kerajaan Badung. Bukti-bukti yang menunjukkan hubungan baik tersebut adalah sewaktu kerajaan Badung memerlukan prajurit-prajurit andalan yang sangat dibutuhkan pada waktu menggempur Mengwi. Penyerbuan terhadap Mengwi dilakukan oleh kerajaan Badung dengan menggabungkan pasukannya sendiri ditambah dengan pasukan Bugis serta Raden Sastroningrat dengan pengikut-pengikutnya. Dengan pasukan gabungan ini akhirnya kemenangan dapat tercapai.
Bukti lain yang juga menunjukkan hubungan baik antara kerajaan dengan orang-orang Bugis ketika daerah Jembrana sebagai pusat kekuatan orang-orang Bugis di Bali menjadi vazal kerajaan Badung, maka menempatkan seorang Kepala orang-orang Bugis di Jembrana yaitu Kapten Patimi sebagai wakil . Jadi Kapten Patimi ini di samping diangkat sebagai wakilnya juga bertindak sebagai syah bandar. Hubungan baik ini sekarang dilanjutkan terus dan tidak jarang juga raja membantu keperluan orang-orang Bugis tersebut, dan jika orang-orang Bugis ini berkunjung ke Puri Pemecutan mereka menghadap tidak sebagai halnya rakyat menghadap kepada raja, melainkan menghadap raja sebagai layaknya seorang sahabat yang berkunjung kepada sahabatnya. Mesjid yang ada di Pulau Serangan yang termasuk Mesjid pertama dan tertua di Badung dibangun dengan biaya kerajaan, termasuk juga pembelian marmer yang dipasang pada Mesjid tersebut adalah merupakan barang perdagangan import dari India yang masuk lewat Singapura.
Peninggalan lain orang-orang Bugis adalah kompleks makam yang terdapat di Pulau Serangan. Makam ini mempunyai persamaan dengan makam-makam yang ada di Kepaon maupun makam-makam yang ada di Angan Tiga Petang. Makam di Pulau Serangan ini ada yang menarik perhatian yaitu makam ini mempunyai bentuk lain dari bentuk makam yang ada disekitarnya, di mana makam ini merupakam perkembangan dari bentuk cungkup yang disebut kubang (kubah) (Wirawan, dan Dian Arriegalung, dalam Shaleh Saidi , 2002: 19-25).
Masuknya pengaruh orang-orang Bugis di Air Kuning Jembrana sudah terjadi pada abad ke-16. Pada zaman itu terjadi peperangan antara kerajan-kerajaan di Sulawesai Selatan, yang disambung dengan peperangan melawan tentara Belanda hingga abad ke-19. Akibat dari peperangan ini sehingga mereka pindah ke daerah-daerah pantai timur dan utara Sumatra, pantai barat dan selatan Kalimantan (orang Bugis Pegatan), Banten (Jawa Barat), Pasuruan (Jawa Timur), Badung Bali dan yang terakhir di Air Kuning Jembrana. Pendaratan di Air Kuning dipimpin oleh Daeng Nachoda sekitar tahun 1669 dan masuk kuala Perancak. Mereka berhasil mendarat dengan mempergunakan perahu perang jenis “Lambo dan Pinisi” yang berisikan senjata api, meriam-meriam serta senjata tombak, badik dan keris. Rombongan ini menetap sementara disebuah tempat yang mereka namakan Kampung Bali. Sebuah sumur air tawar yang jernih hingga kini masih ada disebut oleh warga sekitar dengan nama Sumur Bajo yang terletak ditepi kuala Perancak sebelah barat. Akhirnya mereka mengetahui bahwa daerah yang mereka tempati bernama Jembrana. Mereka diberi izin oleh penguasa daerah Jembrana (marga Arya Pancoran) untuk menetap di Pancoran. Tempat pendatang dari Bugis ini terkenal dengan nama pelabuhan Bandar Pancoran (pelabuhan lama di Loloan Barat) (Suwita, dalam Depdikbud RI, 1997: 173).
Setelah pertengahan abad ke-18, disusul pula oleh orang-orang dari Kalimantan Barat (Pontianak). Di Kalimantan Barat terdapat koloni atau perkampungan orang-orang Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan. Di bawah pimpinan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry orang-orang Bugis dapat merebut sebuah kapal Perancis dan sebuah kapal Inggris di Pantai Kalimantan Timur tahun 1770 dan 1771. Karena syarif Abdulah tidak setuju dengan perjanjian yang dibuat oleh Belanda tahun 1779 dengan kerajaan Pontianak, maka mereka bersama anak buahnya meninggalkan negerinya menuju ke Bali dan mendarat di Air Kuning Jembrana. Di Air Kuning mereka bertemu dengan orang Bugis yang dipimpin oleh Haji Shihabuddin yang telah lebih dahulu menetap di sana. Atas bantuan pemuka orang Bugis di Air Kuning Syarif Abdullah dan anak buahnya diantar menghadap kepada Raja Jembrana dan akhirnya mereka diijinkan mendiami daerah di sebelah kiri dan kanan Sungai ijogading. Tempat pemukiman mereka ini kemudian diberi nama Loloan yang terletak di sebelah utara Bandar Pancoran (Buda, 1990: 49-51).
Kedudukan orang-orang asing yang beragama Islam bertambah kuat dengan kedatangan Encik Yaqub, orang Melayu dari Trengganu mewakapkan sebuah Al Qur’an dan sebidang tanah sawah di Merta Sari untuk pembiayaan dan pemeliharaan Mesjid Loloan. Pewakapan ini terjadi pada masa Pak Mahbubah menjadi penghulu, Pak Mustika sebagai Pembekel, disaksikan oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodry dan khatif adalah Abaa Abdullah Hamnaa. Tanah wakaf di Mertasari adalah seluas 0,45 ha, selain itu terdapat juga di Desa sembati seluas 0,90 ha, di Subak Tugtug seluas 1,05 ha, di Subak Cupel 1,25 ha, dan 1,50 ha terletak di DesaSang Jangkrik (Buda, 1990: 51-52).
Suku pendatang lainnya adalah orang-orang Jawa, Madura, Sasak Cina dan Eropa. Latar belakang mereka beremigrasi ke Bali khususnya ke Jembrana belum ada sumber yang membicarakan hal ini. Namun mereka ini pernah menetap atau setidak-tidaknya pernah menyinggahi Jembrana di masa lampau yang kini anak-anak cucunya di antara mereka masih ada di Jembrana. Hubungan Jawa dan Madura dengan Bali di satu pihak, dan hubungan Bali dan Lombok di pihak lain sudah terjadi di masa lampau. Hal ini tidak mustahil akan dapat mendorong persebaran orang-orang Jawa, Madura, Sasak maupun orang asing lainnya yang berada di Lombok maupun yang ada di Pulau Jawa. Persebaran terjadi setelah perhubungan laut semakin lancar karena perdagangan di Jembrana semakin terbuka dan ramai.
Penyebrangan orang Jawa, Madura dan Sasak ke Bali nampak pula dilakukan melalui saluran ekspedisi militer atau peperangan. Dalam ekspedisi Militer Belanda ke Bali tahun 1846 diikutsertakan pasukan dari Madura sebanyak 500 orang, dalam pertempuran di Jagaraga tahun 1849 juga didatangkan tenaga kasar dari Jawa Timur sebanyak 2000 orang yang terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura. Setelah memperoleh kemenangan di Jagaraga, di bawah pimpinan Jendral Michiels Belanda melanjutkan ekspedisinya menuju ke Karangasem. Di Karangasem Belanda memperoleh bantuan dari pasukan Lombok sebanyak 4000 orang. Fakta-fakta tersebut dapat menggambarkan bahwa baik orang-orang Jawa, Madura maupun orang Lombok (Sasak) kerap meninggalkan pulaunya untuk melawat ke daerah lain seperti Bali dalam rangka peperangan (Buda, 1990: 56-59).
Orang-orang Eropa datang karena tertarik karena kemajuan dan kemakmuran daerah Jembrana. Mula-mula mereka datang sebagai pelancong dari banyuwangi. Pada tahun 1860 De Mey Van Gerwen datang di Jembrana untuk memohon tanah Indra Loka kepada I Gusti Made Pasekan. Setelah dikabulkan pada tanggal 17 januari 1861 mereka menetap di tanah perkebunan Indra Loka untuk memulai usaha pertanian. Pada tahun 1863 De Mey Van Gerwen menetapkan tanah Indra Loka bernama Candi Kuning.
Pada abad ke-19 hubungan perniagaan bertambah ramai, terkenal dengan pengiriman ternak sapi dan kerbau ke Jawa. Perniagaan selain dilakukan oleh orang-orang Bugis, juga nampak dilakukan oleh orang-orang Cina dan Madura yang keluar masuk dari dan ke pelabuhan Loloan. Menurut laporan Raden Sosrowidjojo dalam perjalannya ke Bali khususnya di Jembrana menyebutkan bahwa pada tahun 1871 sudah terdapat orang-orang Cina yang menetap di Loloan. Sebagai bukti orang Cina pernah menetap di Jembrana diperkuat dengan adanya peninggalan batu nisan tertulis pada kuburan orang Cina di Jembrana memakai angka tahun 1883. Jadi informasi ini memperkuat bahwa orang-orang Cina sudah menetap di Jembrana pada abad ke-19 (Buda, 1990: 61-62).
c. Datangnya Ulama-Ulama Besar di Jembrana.
Pada tahun 1669 telah datang empat ulama besar yang menyampaikan ajaran Islam. Mulanya mereka memberikan dakwah di Air Kuning selama dua tahun. Ulama-ulama tersebut adalah; Pertama, Shofi Sirojuddin, datang dari Betawi berkebangsaan Melayu asalnya dari Serawak Malaysia Timur. Mereka akhirnya bermukim di Loloan Timur sampai akhir hayatnya. Orang Bugis menyebutkan Oding, sedang orang-orang memberi gelar Lebai, dan dikenal dengan nama Buyut Lebai. Kedua, Syeh Ahmad Fauzir, beliau berasal dari Jawa Timur berkebangsaan Aden Yaman. Beliau melakukan dakwah ajaran Islam di Loloan. Beliau mempunyai putra yang bernama Syeh dato Ibrahim yang lahir di Loloan Timur dan menjadi ulama besar di Banyuwangi, serta dikenal sebagai orang keramat. Ketiga, H. Syihabuddin, beliau datang dari Buleleng dan tergolong suku Bugis. Beliau memberikan dakwah Islam dan menetap di desa Air Kuning. Dengan dakwah-dakwah yang disampaikan beliau, maka memperkuat iman dan ajaran Islam di Jembrana. Keempat, Haji Yasin, adalah salah seorang ulama besar yang datang dari Buleleng. Beliau juga ikut memperkuat ajaran Islam di Jembrana. Beliau adalah keturunan orang Bugis dan sering berdakwah di Loloan Barat (Damanhuri, 1993: 5-6).
C. PENGABDIAN SYARIF ABDULLAH BIN YAHYA AL QODRI (SYARIF TUA) DI JEMBRANA 1799 – 1858
a. Asal-Usul Keluarga.
Menurut I Wayan Reken, bahwa Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri berasal dari Pontianak, ayahnya adalah seorang Ulama Arab yang termasyur. ia nikah dengan ibunda Raja di Matan. Kemudian ia diangkat menjadi Kadi Agung. Karena sesuatu hal maka ia pindah ke Mampawah. Pada tahun 1770, ia mangkat dan meninggalkan putra Syarif Abdurrahman dan Syarif Abdullah dari perkawinannya dengan Ibunda Raja Matan.
Syarif Abdurrahman menikah dengan putri Raja Mampawah, sedangkan Syarif Abdulah bin Yahya Al Qodri menikah dengan putri Sultan Banjarmasin yang bernama Fatimah. Pada tahun 1771 Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri di pantai timur Kalimantan dekat Pasir mereka merampas sebuah kapal milik Prancis dan sebuah kapal Inggris. Kejadian ini membuat situasi menjadi panas sehingga mertuanya yaitu Sultan Banjarmasin menyuruhnya pergi. Pada tahun 1772 didirikan Kerajaan Pontianak oleh Syarif Abdurrahman dan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri bersama kawan-kawannya serta dibantu oleh orang-orang Bugis yang berkampung di Pontianak kurang lebih jumlahnya 400 orang. Orang-orang Bugis ini berasal dari Sulawesi. Negara yang baru dibentuk maju dengan pesat dan banyak dikunjungi oleh orang-orang untuk kegiatan perdagangan. Oleh karena itu kerajaan Pontianak menjadi hal yang menarik bagi oang-orang asing terutama bagi Kompeni Belanda (dan Reken, 1979: 10-11). Kerajaan Pontianak ini dipimpin oleh Abdul Rahman bin Husin Al Qodri sebagai Sultannya, sedangkan Abdullah bin Yahya Al Qodri adalah sebagai wakilnya, dan dibantu oleh seorang bangsa Melayu asal Kedah sebagai Panglima Perang Kesultanan, yang bernama Dato Ahmad Muntahal.
Baru saja pemerintahan Kerajaan Pontianak berlangsung 8 tahun, timbullah rasa iri atau ingin menguasai dari pemerintah Belanda (VOC) terhadap kemajuan yang dicapai Pontianak terutama di bidang perdagangan. Sultan Pontianak Abdurrahman bin Husin Al Qodri yang baru saja menduduki singasana kesultanan, mendadak mendapat tekanan atau teror dari pemerintahan Kompeni Belanda. Sultan dipaksa untuk mau bekerjasama dengan Belanda terutama di bidang perdagangan di negeri Pontianak. Karena Belanda memaksa dengan kekerasan, akhirnya dengan sangat terpaksa Sultan Pontianak menandatangani kerjasama di bidang perdagangan dengan Belanda.
Sejak ikut campurnya Belanda di dalam Kerajaan Pontianak mengakibatkan terjadinya perpecahan di dalam kerajaan. Pada tanggal 5 Juli 1779 Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Pontianak Syarif Abdurraman (Jabar, 2008: 10-13). Hal ini dipandang perlu dilakukan oleh Belanda untuk menghindarkan terjadinya peperangan-peperangan, Kompeni mengadakan pendekatan dengan kontrak, di mana Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman mengakui Kompeni sebagai tuannya. Tunduknya atau pengakuan Sultan Pontianak kepada Kompeni ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Kompeni. Hal ini terbukti pada waktu Kompeni menghadapi Mampawah, Sultan Pontianak membantu Kompeni untuk membinasakan kerajaan Mampawah dan Sukadana yang berlangsung pada tahun 1786-1787. Dengan demikian segala perniagaan beralih ke Pontianak (Reken, dalam Shaleh Saidi, 2002: 52-53 dan Reken, tanpa tahun: 10-11).
Menurut I Wayan Reken, dalam tulisannya Sejarah Perkembangan Islam di Bali Khususnya di Jembrana, menyebutkan bahwa Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al Qodri katanya bersaudara dengan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri. Hal ini menurut Bapak H. S. Yasin Al Qadri tidak benar bahwa Syrif Abdullah bin Yahya Al Qodri adalah adiknya/saudara Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al Qodri. Syarif Abdullah adalah memang benar ada hubungan darah dengan Syarif Abdurrahman, namun jauh di bawah dan bukan bersaudara. Setelah menetap di Jembrana Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri mempunyai seorang istri yang bernama Sipunce yang berasal dari Jembrana. Dari perkawinannya ini beliau mempunyai lima anak yakni: Usman (laki-laki), Muhammad (laki-laki), Husin (laki-laki), Ibu Ami Agil (perempuan), Sarifa Encu (perempuan).
Pernyataan H. S. Yasin Al Qadri diperkuat oleh pernyataan H. Husein Jabar bahwa Syarif Abdurrahman (Sultan Pontianak) tidak mungkin bersaudara dengan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri. H. Husein Jabar menjelaskan Sultan Pontianak Kalimantan Barat yang berkuasa sejak 1771-1808 M, namanya Sayid Abdul Rahman suku Arab Hadrmaut bin Husin bin Ahmad Al Qodri. Ayahnya yaitu Husin bin Ahmad Al Qodri pada tahun 1735 M datang dari Hadramaut di Matan. Selanjutnya Sayid Husin Al Qodri menikah dengan Putri keluarga Matan, yang hanya disebut Ibunda di Matan. Dari pernikahan tersebut lahirlah putranya yang bernama Abdul Rahman. Setelah beberapa lama tinggal di Matan, maka Sayid Husin Al Qodri beserta keluarganya pindah ke Mampawa. Di Mampawa Sayid Husin diangkat sebagai pejabat penting yaitu menjadi Sekretaris Negeri, sampai ia menutup usianya di sana. Sedangkan nama Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri menurut H. Husin Jabar, secara otentik telah tersurat di dalam Prasasti Loloan. Dari sinilah diketahui identitasnya masing-masing. Abulrahman (Sultan Pontianak) itu bin Husin Al Qodri. Sedangkan Abdullah itu adalah bin Yahya Al Qodri. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan silsilah keluarga Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri sebagai berikut:
Habib Husein bin Ahmad Al Qodri
(Tuan Besar Mampua)
Syarif
Ahmad Syarif
Ali Syarif Abubakar Syarif Muhammad Syarif
Alwi Syarif Abdul Rahman
(Sultan Pontianak)
Syarif Yusuf Al Qodri
Sayid Muhammad Sayid Kasim Sayid Yahya
Syarif Abdul Razak Syarif Muham-
Mad Saleh Syarif Abdul Latif Syarif Mohha-
Mad Tohir Syarif Sulaiman Syarif Abdullah
(Srarif Tua)
Sumber: Koleksi pribadi H. S. Yasin Al Qodri di Jembrana.
Dilihat dari silsilah Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri di atas, maka beliau adalah termasuk dari kalangan keluarga yang terpandang atau seorang tokoh yang mempunyai karisma secara turun temurun. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa munculnya seorang pemimpin dalam hal ini Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadri sebagai seorang tokoh yang baik. Secara garis keturunan memang Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri adalah keturunan yang memiliki bakat-bakat menjadi seorang pemimpin. Lingkungan keluarga pada masa itu yang penuh dengan gejolak atau menghadapi bangsa penjajah Belanda maka beliau sudah biasa hidup dilingkungan kekerasan. Hal ini membentuk karakter atau pribadi Syarif Abdullah yang tegar, penuh semangat dan tidak mau ditundukkan, dijajah oleh bangsa Belanda. Oleh karena itu beliau tidak puas pada waktu Sultan Pontianak Syarif Abdrrahman mau menyerahkan kedaulatan negerinya kepada Kompeni Belanda pada tahun 1799. Kesepakatan bekerjasama ini yang ditandai dengan penandatanganan traktat dengan Belanda, membuat Syarif Abdullah murka serta memutuskan membrontak kepada Belanda dan melarikan diri untuk mencari daerah baru yang belum banyak dipengaruhi oleh Belanda. Karena beliau adalah tokoh yang sangat dihormati sehingga beberapa anak buahnya yang setia ikut bersamanya.
b. Tiba di Kampung Loloan.
Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadry menggunakan empat perahu perang dengan muatan persenjataan lengkap seperti meriam, badik, tombak dan keris. Mereka berhasil mendarat di air Kuning (Jembrana) dan bertemu dengan orang Bugis yang telah lama menetap di sana yang dipimpin oleh Haji Shihabuddin. Haji Shihabuddin memberikan ijin kepada mereka untuk masuk ke Kuala Perancak dan berlabuh di pelabuhan darurat Air Kuning. Atas bantuan pemuka orang Bugis ini Syarif Abdullah bersama rombongannya diantar menghadap kepada Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka (Raja ketiga yang memerintah dari tahun 1795-1842). Sejak tahun 1799 Raja Jembrana mengijinkan Syarif Abdullah beserta rombongannya untuk tetap tinggal dan bermukim di sebelah kiri dan kanan Sungai Ijogading seluas 80 hektar (sekarang Loloan Barat dan Loloan Timur). Oleh raja mereka ditugaskan menjadi Laskar Keamanan Rakyat dari negeri Jembrana yang menjaga keamanan kerajaan Jembrana beserta rakyatnya (Sumerta, dkk, 2000: 9-10).
Di dalam perkembanganya desa Loloan terbagi menjadi dua bagian yaitu, Loloan Timur dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, merupakan tempat penduduk yang tertua di Loloan. Loloan Timur tidak membagi desanya atas kampung-kampung hanya ada bagian Selatan, Tengah dan Utara. Akan tetapi ada juga kampung yang diberi nama Kampung Sabo (karena banyak pohon sawo), Kampung Merta Sari yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, karena letaknya di desa Merta sari, dan sebuah perkampungan yang berisi suku Madura dan Jawa yang disebut Kampung Baru terletak di batas Utara Desa loloan Timur. Sedangkan Loloan Barat, merupakan gabungan dari beberapa kampung yaitu Kampung Terusan terdapat di paling ujung Selatan desa dan kampung Loloan (dulu) di bagian Barat Sungai Ijo Gading dan kampung yang lainnya (Panitia Pelaksana KKL, 1996: 12-16).
Kelurahan Loloan Timur Kecamatan Negara, Jembrana merupakan salah satu potret desa yang mampu menjaga kerukunan beragama di tengah-tengah penduduk yang majemuk. Keberadaan Loloan Timur yang lokasinya berada di tengah-tengah Kota Negara, dengan ketinggian 300 meter dari permukaan laut, memiliki luas wilayah 4.340 ha. Jumlah penduduknya tahun 2008 adalah 6.055 orang dengan perincian laki-laki 2.965 orang dan 3.090 orang perempuan (Laporan Bulanan Desa/Kelurahan tahun 2008). Di sini terlihat keberhasilan diterapkan kerukunan antar umat beragama dari generasi ke generasi hingga sekarang. Kondisi yang kondusif tersebut sangat didukung oleh pengertian warga Loloan timur dalam hidup bermasyarakat. Walaupun mereka berbeda keyakinan, semangat untuk tetap bersatu dan membangun kerukunan bermasyarakat tetap tinggi. Kerukunan seperti itu bukan saja terjadi pada umat Hindu dan Islam, tetapi juga dengan umat Protestan, Katolik dan Budha. Kerukunan yang terjalin antar umat beragama dapat terlihat dari adanya saling bantu dalam berbagai kegiatan.
Rasa persaudaraan juga terlihat pada saat menjelang hadirnya hari-hari besar agama. Di samping saling bersilahturahmi di antara umat yang berbeda agama, juga terlihat keterlibatan dalam melaksanakan aktivitas untuk upacara keagamaan. Sebagai suatu contoh, pada saat hari raya Nyepi bagi umat Hindu pembuatan ogoh-ogoh bukan saja dilakukan oleh warga umat Hindu, pemuda dari umat Islam pun membaur menjadi satu larut dalam kerja hingga sampai saat mengusung ogoh-ogoh di hari Pengrupukan, petang hari menjelang Nyepi. Pembauran keragaman dalam bingkai kesatuan wilayah inilah yang menjadi modal dalam membangun sehingga daerah ini menjadi maju. Keterikatan historis merupakan perekat kerukunan umat beragama di Kelurahan Loloan. Mereka menyadari ikatan-ikatan historis yang terjadi sejak jaman kerajaan perlu dilestarikan demi terwujudnya keharmonisan antar umat beragama (Kantor Informasi Komunikasi dan Pelayanan Umum Kab. Jembrana, 2002; 10-20).
c. Mengabdikan Hidupnya di Jembrana.
Setelah Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri berada di Jembrana dengan bantuan Syah Bandar beliau diantar ke daerah yang sedang di bangun bernama Negara, maka terkenanglah beliau akan pembangunan kota Pontianak yang dirintisnya dulu. Besarlah hasrat beliau untuk menemui raja di Puri Jembrana untuk menyampaikan rasa hormat beliau dan mengulurkan tangan persahabatan dalam perdamaian. Mengingat Blambangan telah dikuasai oleh Kompeni Belanda, uluran tangan persahabatan diterima hangat oleh Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka pendiri kota Negara. Salah satu syarat dari undang-undang kerajaan menetapkan bahwa semua meriam-meriam, perahu-perahu eskadron Sarif Abdullah bin Yahya Al Qodri harus dijual kepada kerajaan sebagaimana telah berlaku pada perahu-perahu Bugis/Makasar terdahulu. Syarat tersebut ditolak secara halus oleh Syarif Abdullah, serta berkesanggupan kehadapan raja untuk membela kerajaan Jembrana melawan musuh ataupun Kompeni Belanda. Beliaupun sanggup menurunkan meriam-meriamnya ke daratan, di manapun beliau diberi ijin bermukim tetap dalam memajukan pembangunan dan perniagaan kerajaan. Setelah raja berunding dengan segenap pegawai bawahannya maka diputuskan perkenan mendiami kanan kiri tebing Sungai Loloan seluas kira-kira 80 ha, sebelah utara Bandar Pancoran. Meriam-meriam kemudian diturunkan, syarif Abdullah beserta anak buahnya segera membangun perkampungan darurat untuk seluruh rombongan di sebelah Timur Sungai Ijo Gading yang sekarang dikenal dengan Loloan Timur.
Atas perkenan Raja Jembrana syarif Abdullah bersama-sama anak buahnya membangun sebuah benteng Islam diberi nama Benteng Fathimah (sesuai dengan nama istri Syarif Abdullah, yakni putri Sultan banjarmasin). Perahu-perahu perangnya dirubah menjadi perahu-perahu perniagaan yang kemudian menjelajahi lautan sampai ke Singapura, Dataran tanah Melayu. Lambat laun Bandar Loloan makin ramai berkat persatuan umat muslimin. Pada tahun 1803 selesailah pembangunan kota Negara. Loloan Timur dan Loloan Barat adalah desa administratif konsesi umat Islam di Kerajaan Jembrana dan empat desa yakni Merta Sari, Lelateng, Banjar Tengah, dan Baler Bale Agung adalah desa administratif berbentuk Desa Adat Bali Hindu (Reken, tanpa tahun: 11-12., dan Damanhuri, 1993: 13-14).
Raja Anak Agung Putu Seloka mempunyai dua orang putra yaitu yang sulung bernama Anak Agung Putu Ngurah menempati Puri Agung di Negara, putranya yang ke dua bernama Anak Agung Putu Raka menempati Puri gde Jembrana dan di Puri Anom bertempat Anak Agung Made Rai. Tahun 1828 terjadi peperangan yang kedua kalinya antara Jembrana dengan Raja Buleleng Anak agung Gde Karangasem yang tertarik dengan kemakmuran kerajaan Jembrana. Raja Anak Agung Putu Seloka bersama adiknya Anak Agung Ngurah Made Bengkol dan beberapa pengiringnya mengungsi dengan perahu Bugis ke Banyuwangi (sekarang bernama Kampung Bali). Setelah raja selamat sampai di Banyuwangi anak Agung Made Bengkol kembali ke Jembrana. Dalam peperangan pasukan Jembrana dipimpin oleh I Gusti Ngurah Gde dari Jero Pancoran yang didukung oleh pasukan Islam. Panglima perang Buleleng Anak Agung Gde Karang beserta prajuritnya gugur dalam pertempuran, akhirnya mundur kembali ke Buleleng. Kemudian adik panglima perang Buleleng yang bernama Anak Agung Made Karang menyerang dari arah laut, sedangkan dari arah pegunungan pasukan Buleleng menyerbu Puri Jembrana dengan siasat menjepit dari arah muka dan belakang. Karena begitu kuatnya musuh akhirnya dalam perang tanding di Bajo/Awen panglima I Gusti Ngurah Gde bersama Anak Agung Made Bengkol gugur, dan akhirnya Puri Gde Jembrana dapat direbut. Namun Puri Agung Negara tidak berani didekati karena banyak prajurit yang tertembak mati. Anak Agung Gde Karang kembali memerintahkan anak buahnya mundur ke Buleleng.
Sampai tahun 1832, selama empat tahun Jembrana mengalami kekosongan pemerintahan akibat peperangan dengan Buleleng, maka Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (karena sudah tua maka disebut Syarif Tua oleh penduduk setempat) dan Panglima Tahal memperkuat posisi pertahanan Islam di sekitar Benteng Fathimah, berpedoman pada prinsip agama yang sedang dikembangkan melalui perwakilan dan berdagang, lebih bersifat asimilatif dari pada revolusioner dan bukan sekali-kali untuk menaklukkan. Jika pemuka Islam Syarif Abdullah beserta Panglima Tahal menghendaki dan menyalahgunakan kesempatan sewaktu kerajaan Jembrana dalam keadaan pemerintahan kosong selama empat tahun, maka pastilah pengaruh Islam dan syarif abdullah bisa menguasai Jembrana. Akan tetapi Syarif Abdullah adalah orang yang sangat bijaksana dan lurus hatinya, terutama setia memegang teguh janji persahabatan dengan kerajaan Jembrana beserta rakyatnya. Bahkan umat muslim selalu membantu rakyat yang sengsara karena peperangan dan membinasakan musuh-musuh keraan Jembrana.
Tahun 1835 Raja Buleleng menginginkan perdamaian dengan Raja Jembrana yang masih di banyuwang. Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka menerima perdamaian ini dan kembali memerintah menempati Puri Agung Negara. Saat itu semakin eratlah persatuan rakyat Muslim dengan rakyat Hindu. Karena Raja Anak Agung Putu Seloka sudah tua maka pada tahun 1842 digantikan oleh putranya yang sulung Anak Agung Putu Ngurah menjadi Raja Jembrana bertempat di Puri Agung Negara dan putra keduanya Anak Agung Putu Raka menjadi wakil raja bertempat di Puri Gde Jembrana. Sedangkan kemenakannya Anak Agung Made Rai diangkat menjadi kepala perang kerajaan bertempat tinggal di Puri Anom Jembrana (Reken, dalam Shaleh Saidi, 2002: 55-57).
Setelah menjadi Regentschap di bawah Residensi Banyuwangi, Kerajaan Jembrana dikendalikan oleh tiga bersaudara. Hubungan perniagaan Banyuwang-Jembrana makin ramai. Pada saat itu datanglah Alim Ulama dari Jawa untuk meninjau perkembangan Agama Islam di Jembrana. Dengan penuh kebijaksanaan Syarif Tua dan Sekh Fausie seorang Ulama dari Banyuwangi memajukan perkembangan Islam. Mereka adalah tabib-tabib kenamaan yang tak jemu-jemunya masuk ke daerah pedesaan, mendatangi orang yang sedang sakit dan membutuhkan pertolongan. Beliau mengajarkan hikmah falsafah Islam tanpa pilih kasih. Pengobatan yang beliau berikan cuma-cuma tanpa suatu imbalan jasa, maka bersimpatilah rakyat jelata terhadapnya. Maka makin percayalah rakyat akan kebenaran Agama Islam terutama di pedesaan-pedesaan pantai Ketapang-Kombing (asal kata orang “mebading”) artinya kaum beragama Hindu Bali beralih ke agama Islam.
Raja Anak Agung Putu Ngurah menaruh curiga kepada kegiatan Syarif Tua, sehingga dengan cara halus melarang orang-orang Bali Hindu beralih agama lain dengan perantara Ida Pedanda Agung , berdasarkan Hukum Adat Istiadat yang berlaku. Syarif Tua sadar betapa tabyat Tuanku Raja, jauh berbeda dengan ayahnya waktu berkuasa. Sering terjadi penindasan, penganiayaan, kerja rodi, bea syahbandar terlalu besar dan terjadi persaingan dalam kalangan kerajaan. Dengan segala kerendahan hati Syarif Tua menemui raja Anak Agung Putu Ngurah untuk menyadarkan betapa berbahayanya hawa nafsu dan kekuasaan itu. Namun raja tidak memperhatikan nasehat yang disampaikan.
Seorang Punggawa bernama I Gusti Ngurah Made Pasekan yang sejak lama menaruh kecewa terhadap raja, bersahabat dengan Syarif Tua dan seluruh umat Muslimin. Diam-diam dia melayangkan surat gugatan kepada Komisarisw Hindia Belanda tanggal 13 Oktober 1855 No. 85 di Residensi Banyuwangi. Isi surat tersebut adalah rakyat Jembrana merasa sangat keberatan atas ulah Raja Jembrana I Gusti Agung Putu Ngurah. Surat ini dilanjutkan oleh Residen Banyuwangi ke hadapan Gubernur Jenderal di Betawi Bersamaan dengan ini terjadi perpecahan di Jembrana, pihak pertama Punggawa Jembrana I Gusti Ngurah Made Pasekan bersatu dengan Syarif Tua beserta umat Islamnya dan prajurit-prajurit Pan Kelab beserta rakyat yang berpihak kepadanya. Pihak kedua, Raja Jembrana, Ida Anak Agung Putu Raka dikawal oleh bala tentara I Gusti Agung Made Rai dan seluruh Ksatria yang berpihak. Jika dilihat dari kekuatan, pihak kerajaan jauh lebih kuat. Syarif Tua mengumpulkan seluruh umat Muslim dari pedesaan-pedesaan ke benteng Fathimah, Loloan Timur, begitu juga di sekitar Puri Negara dan Jembrana telah penuh sesak dengan pengawalan. Peperangan tidak bisa dihindari, dimana I Gusti Agung Made Rai mencabut keris “Tastas” pusaka kerajaan dan I Gusti Made Pasekan mencabut keris pusaka Buleleng “Ki tunjung Tutus”. Di lapangan Puri Jembrana dan Puri Negara penuh sesak oleh prajurit pembela kerajaan. Tiba-tiba berdetumlah meriam-meriam Syarif Tua dari Benteng Fathimah di Loloan Timur. Begitu juga meriam-meriam Pan Kelabdari dekat arah Desa Pemedilan. Pasukan syarif Tua juga dibantu oleh Panglima Datuk Tahal. Pertempuran sangat sengit, di Benteng Fathimah Syarif Tua mengibarkan bendera Pusaka berwarna Hijau bertuliskan kalimat Syahadat dan Panji-panji berwarna hitam bergambar harimau berhuruf arab hadiah Sultan kedah dahulu yang berisikan ayat Suci Al-Qur’an. Karena gempuran-gempuran dari Benteng Fatimah sehingga Puri jatuh.
Pada malam hari Syarif Tua melakukan siasat kurungan terhadap Puri Negara dengan laskar pilihan. Masing-masing membawa meriam tiruan dari batang-batang pepaya yang dicat warna hitam untuk menakut-nakuti prajurit kerajaan, seraya meminta suaka perundingan dengan tuanku Raja Anak Agung Putu Ngurah. Syarif Tua selaku utusan umat Islam di Jembrana di kawal oleh panglima Datuk Tahal. Syarif Tua membuka pembicaraan: “Maaf Paduka Tuanku Yang Mulia, kami selaku utusan umat Islam dan rakyat, memohon membuka musyawarah perihal kekuasaan yang mulia yang diambang pintu keruntuhan. Sesungguhnya kami terlarang membunuh orang-orang yang menyerah kalah. Demikianlah ajaran agama kami. Kami mengangkat senjata bukan untuk merebut kekuasaan, melainkan untuk menyebarkan agama sambil berniaga dan menolak sekeras-kerasnya perbuatan-perbuatan dholim yang menghambat agama kami. Demi nama Allah kami menasehatkan berangkatlah hesok pagi-pagi sebelum fajar dengan segenap keluarga menyelamatkan diri untuk meminta perlindungan Hukum kepada Gubernur Hindia Belanda. Tuanku Raja terdiam bingung menghayati pembicaraan Syarif Tua sambil menimbang-nimbang, dan diputuskan Raja beserta keluarganya meninggalkan Puri Negara menuju Buleleng. Raja juga memerintahkan kepada Hulubalang-hulubalang supaya peperangan dihentikan, karena kekuasaan kerajaan telah diserahkan secara damai kepada Syarif Tua dan punggawa I Gusti Ngurah Made Pasekan. Keesokan harinya Raja beserta keluarganya dan Anak Agung Made Rai menuju Buleleng.
Di Jembrana Raja I Gusti Agung Putu Ngurah dengan kemauannya sendiri melepaskan hak kerajaan kepada Gouvernement Hindia Belanda, kemudian menjadi Landschap Gouvernement di bawah seorang Regent, bertitel Raja I Gusti Ngurah Pasekan. Tahun 1857 Anak agung Putu Ngurah dan keluarganya ke Purwakarta (Jawa Barat). Semasa I Gusti Made Pasekan berkuasa, masa itu adalah masa keemasan perkembangan Islam dan perniagaan di sekitar Bandar Loloan. Keramaian berada di pusat pasar Loloan Barat berdekatan dengan pelabuhan yang perahu-perahu tersebut melalui Kuala Perancak, Tanjung Tangis mengangkut jemaah haji kemudian naik kapal dari pelabuhan Surabaya.
Perkembangan pedesaan muslim meluas hingga ke Tegal Badeng, Rening dan Pabuahan, dan orang-orang muslim di Air Kuning membuka hutan di Air Sumbul. Dibuat pula sebuah jalan yang langsung menghubungkan Jembrana-Loloan Timur atas perintah Tuan Komisaris. Benteng Fathimah yang megah itu terpaksa dibongkar karena terkena jalur jalan. Selain itu tanah benteng juga dipergunakan untuk perumahan. Pada tahun 1858 Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (Syarif Tua) wafat ke rehmatullah, di kuburkan di peristirahatan terakhir, areal kuburan Loloan Timur/Barat (Reken, dalam shaleh saidi, 2002: 60-68).
Demikianlah pengabdian yang dipersembahkan oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (Syarif Tua) dari baru menginjakkan kakinya di Jembrana tahun 1799 sampai beliau meninggal. Beliau sebagai seorang pemimpin mempunyai kemampuan, bakat sehingga sangat dihormati oleh masyarakat.
D. PENUTUP
Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (Syarif Tua) adalah salah seorang tokoh yang berasal dari Pontianak. Beliau bersama anak buahnya berkelana sampai di Loloan-Jembrana karena berbeda pandangan dengan Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman yang mau tunduk kepada pemerintah Belanda. Kesepakatan untuk menandatangani kerjasama antara pemerintah Belanda dengan Syarif Abdurrahman dilakukan pada tanggal 5 Juli 1779, sehingga sejak itu Sultan Pontianak mengakui Kompeni sebagai tuannya. Pengakuan Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman terhadap pemerintah Belanda membuat kecewa Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodri (Syarif Tua), dan beliau beserta anak buahnya memutuskan untuk membrontak kepada Belanda. Karena terus dikejar-kejar Syarif Tua memutuskan untuk pindah ke daerah-daerah yang belum dikuasai oleh pengaruh Belanda. Rombongan Syarif Tua berlayar hingga sampai di Nusa Tenggara Barat dan terus ke barat sampai di Air Kuning-Jembrana pada tahun 1799.
Beliau disambut dengan baik oleh penduduk yang sudah lama tinggal di sana yang berasal dari suku Bugis bernama Haji Shihabuddin, serta diantar menghadap kepada Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka. Setelah menghadap raja, syarif Tua diijinkan menetap di Jembrana dan diberikan tempat bermukim di kiri dan kanan Sungai Ijo Gading seluas 80 ha dengan syarat Syarif Tua bersedia melakukan kerjasama dan membantu kerajaan Jembrana dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Setelah menetap di Loloan, Syarif Tua merubah perahu-perahu perangnya menjadi perahu-perahu perniagaan dan beliau menjelajahi laut sampai ke Singapura dan Tanah Melayu Malaisia. Lambat laun Bandar Pancoran menjadi ramai berkat bantuan umat Muslim sehingga Jembrana menjadi salah satu kerajaan yang sangat ramai karena perniagaannya. Untuk memperkuat pertahanan Kerajaan Jembrana, Syarif Tua membangun sebuah benteng pertahanan yang kuat dengan nama Benteng fathimah. Beliau beserta laskar Muslimnya selalu ikut membantu di dalam peperangan-peperangan melawan musuh-musuh Kerajaan Jembrana.
Kelurahan Loloan Jembrana adalah salah satu potret desa yang mampu menjaga kerukunan antar umat beragama di tengah-tengah penduduknya yang majemuk baik Islam, Hindu, Protestan, Katolik dan Bhuda. Keberhasilan kerukunan antar umat disini diwariskan secara turun-temurun sampai saat ini terutama dalam kehidupan sehari-hari. Pembauran keragaman dalam bingkai kesatuan wilayah inilah yang menjadi modal dalam pembangunan Loloan dan Jembrana. Keterikatan historis merupakan perekat antar umat beragama, dan hal ini perlu disadari dan dilestarikan untuk menjaga kebersamaan dalam membangun Jembrana. Jangan sampai perbedaan menjadi penghambat dalam segala hal khususnya dalam pembangunan di segala bidang.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A.A. Gde Putra. 2001.“Teknik Penulisan Biografi”. Makalah disampaikan Pada Forum Evaluasi dan Pembahasan Proposal Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Denpasar bekerjasama dengan Fakultas Sastra Universitas Udayana dan UNHI di Denpasar, 20 Pebruari.
Agung, Anak Agung Ktut. 1991. Kupu-Kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok: Lintasan Sejarah Kerajaan karangasem 1660 – 1950. Denpasar: PT. Upada Sastra.
Buda, I Made. 1990. “Hubungan Antar Etnik di Jembrana 1856 – 1942”. Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar (Skripsi).
Damanhuri, A. 1993. “Sejarah Kelahiran Kota Negara”. Makalah Seminar yang disampaikan dalam seminar lahirnya Kota Negara.
Damanhuri, H. Achmad. 1993. “Sejarah Kelahiran Kabupaten Jembrana”. Makalah diajukan untuk Bahan Seminar Sejarah Lahirnya Kabupaten Jembrana dan Kota Negara.
Ginarsa, Ketut, Suparman Hs. 2002. “Umat Islam di Buleleng”. Dalam Shaleh Saidi, Yahya Anshori (penynting). Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali. Denpasar: Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali.
Jayus, I Nyoman, I Ketut Suwentra. 1993. “Babad Tanah Jembrana”. Makalah diajukan untuk Seminar Sejarah Lahirnya Kabupaten Jembrana dan Kota Negara.
Kada, Thomas. 1982. Kepemimpinan Dalam Teori dan Praktek Serta Masalah-Masalahnya. Kupang: FKIP Undana.
Kantor Informasi Komunikasi dan Pelayanan Umum Kab. Jembrana. 2002. Feature Mozaik Jembrana. Jembrana: Seksi Humas Kantor Inkom dan Yanum Kab. Jembrana.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kelurahan Loloan Timur. 2008. Laporan Bulanan Desa/Kelurahan. Negara.
Nyoka.1990. Sejarah Bali. Denpasar: Penerbit dan Toko Buku RIA.
Panitia Pelaksana Kuliah Kerja Lapangan. 1996. “Laporan Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 1996 Jurusan Pendidikan Sejarah”. Jakarta: Fakultas Pendidikan ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Jakarta.
Parisada Hindu Dharma. 1975. Pemargan Danghyang Nirartha di Bali (Dwi Jendra Tatwa/Riwayat Danghyang Nirartha). Denpasar: Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung.
Parwata, I Putu. 1994. “Sejarah Kota Negara 1958 – 1992”. Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar (Skripsi).
Puspawati, Ni Nyoman Suhendra. 1990. “Perkembangan Kesenian Jegog, Kendang Mebarung, Bungbung Gebyog dan Atraksi Makepung di Kabupaten Jembrana Tahun 1944 – 1979”. Fakultas Sastra Universitas Udayana (Skripsi).
Putra, Ida Bagus Rai. 1991. Babad Dalem. Denpasar: PT. Upada Sastra.
Raka, I Gusti Gede. 1955. Monografi Pulau Bali. Djakarta: Bagian Publikasi Pusat DJawatan Pertanian Rakjat.
Reken, I Wayan. 2002. Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali. Denpasar: MUI Bali.
Sjafei, Suwadji. 1984. Pemikiran Biografi dan Kesejarahan, Suatu Kumpulan Prasaran pada Berbagai Lokakarya Jilid III. Jakarta: Depdikbud Ditjarahnitra, Proyek IDSN.
Soebantardjo, R. M.1983. Pemikiran Biografi dan Kesejarahan, Suatu Kumpulan Prasaran pada Berbagai Lokakarya, Jilid I. Jakarta: Depdikbud Proyek IDSN.
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumerta, I Made, dkk. 2000. Tatakrama Suku Bangsa Loloan di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Denpasar: Depdiknas, Proyek P2NB Daerah Bali.
Suprayogo, Imam.1988.“Patron Klien Dalam Kepemimpinan”. Seluk Beluk Perubahan Sosial. Surabaya: Usaha nasional.
Suryawati, Cok Istri. 2003. “Biografi Tokoh Pejuang I Nyoman Mantik”. Dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional, Edisi Kesebelas No. 11/III/2003. Denpasar: BKSNT Denpasar.
Suwita, I Putu Gede. 1997. “Loloan Bandar Laut, dan Hubungan Antara Budaya”. Dalam Depdikbud RI. Kongres Nasional Sejarah 1996 Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III. Jakarta: Depdikbud RI.
Swarsi, S. dkk. 1998/1999. “Sejarah Kerajaan Tradisional Bali (Kerajaan Karangasem)”. Denpasar: Depdikbud, Proyek Iventarisasi dan dokumentasi Sejarah Nasional.
Tim Penulis. 1997. “Sejarah Jembrana dan Lahirnya Ibukota Negara”. Jembrana: Bagian Pemerintahan Pemda Tinkkat II Kabupaten Jembrana.
Toetoer Lambangkawi (transkripsi). Koleksi Gedong Kirtya Singaraja, No. 1339/Va.
Wirawan, A.A.B., Dian Arriegalung. 2002. Umat Islam di Badung”. Dalam Saleh Saidi, Yahya Anshori. Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali. Denpasar: Majelis Umat Islam Bali.

Senin, 31 Desember 2012

Loloan kampung islam jembrana
Februari 21st, 2011 1 Comment Tak Berkategori

Loloan adalah nama desa yang berada di kabupaten Jembrana Propinsi Bali, terpisah oleh sebuah sungai yang disebut sungai Ijo Gading menjadi dua desa, Loloan Barat dan Loloan Timur, dan dihubungkan oleh sebuah jembatan yang bernama Jembatan Syarif Tua. Loloan memiliki bahasa sendiri yang tidak sama dengan bahasa wilayah-wilayah di sekitarnya, bukan bahasa Bali, bahasa Jawa, atau pun lainnya. Tapi bahasa kampung Loloan (Base Loloan) yang mirip dengan bahasa melayu.

Sejarah Loloan

Keberadaan daerah Loloan tidak bisa dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di Jembrana. Menurut H. Husin Abdul Jabbar, Islam pertama kali masuk Jembrana sekitar tahun 1653 hingga 1657. Mereka yang datang pada masa itu adalah penduduk Sulawesi Selatan. Diperkirakan mereka dikejar-kejar tentara VOC.

Akhirnya, penduduk yang datang dengan perahu lambau dan pinisi ini mendarat di Air Kuning. Saat itu penduduk Air Kuning sangat jarang. Kedatangan suku Bugis dan Makasar ini membuat Air Kuning menjadi ramai, hingga menjadi pemukiman pertama Islam di Jembrana.

Sampai dengan tahun 1669, kehidupan Air Kuning sangat damai. Orang Bugis yang tidak bisa diam dan suka belayar mulai melakukan aktivitas perdagangan.

Kerajaan Jembrana pada masa itu dipimpin keturunan I Gusti Ngurah Pancoran. Penguasa senang dengan keberadaan orang-orang Bugis. Pasalnya, mereka adalah tentara-tentara yang terlatih dan memiliki persenjataan lengkap. Situasi makmur dan aman pun bisa terwujud.

Tahun 1670, kerajaan Buleleng yang iri melihat keberadaan Jembrana, melakukan penyerangan. Jembrana pun takluk. Selanjutnya, Buleleng mengatur pasar. Mereka membuat dermaga baru di Tibu Sungai Ijo Gading. Dermaga ini dibuat sekitar tahun 1671 dan dinamai Tibu Bunter. Pemukiman dan pasar rakyat juga dibuat disekitar daerah tersebut. Lama-kelamaan pemukiman ini menjadi kampung muslim yang dikenal dengan kampung pancoran karena lokasinya juga dekat Tibu Pancoran dan ada juga yang menyebut kerobokan.

Tahun 1798, datang rombongan dari Pontianak yang merapat di Pancoran. Sebelumnya mereka berada di Lombok, perang melawan Belanda. Rombongan dipimpin Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qodri yang bergelar Syarif Tua. Anak buah Syarif Tua berasal dari Bugis, Melayu bahkan dari Arab.

Syarif Tua lalu berkenalan dengan penguasa Jembrana Gusti Putu Handul. Sebagai pendatang, Syarif Tua dan rombongan diberi tempat disisi timur dan barat Sungai Ijo Gading. Mereka pun melakukan perabasan selama dua tahun untuk membuka pemukiman.

Pada saat melakukan perabasan, rombongan ini menyusuri Sungai Ijo Gading yang berliku-liku. Dalam bahasa Banjarmasin liku-liku itu sama dengan liluan, lama-kelamaan liluan itu menjadi Loloan, dibagian barat sungai dinamakan Loloan Barat sedangkan di timur Loloan Timur.

Versi kedua menyebutkan, Loloan berarti tibu yang sangat dalam yang difungsikan sebagai dermaga. Versi ketiga, Loloan berasal dari kata loloh (jamu). Ketika itu, di Tibu Pancoran banyak pedagang jamu (loloh). Karena di wilayah tersebut banyak ditanami bahan loloh, maka di daerahnya dikenal sebagai lolohan atau loloan. “Versi kedua adalah yang paling mendekati, kenapa Loloan dinamakan Loloan.” Ujar Husin Abdul Jabbar.

Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1697 terjadi banjir besar. Air Sungai Ijo Gading meluap. Banyak rumah penduduk yang hanyut. Sejak saat itu, penduduk membuat rumah panggung untuk mengurangi risiko hanyut. Selain itu, rumah panggung juga dibuat berdasarkan faktor keamanan. Rumah panggung yang dibangun pun sesuai dengan suku asal para pendatang itu. Sampai tahun 1700-an, rumah panggung mulai bermunculan di wilayah Loloan.

dipostkan oleh ryan’s blog.

AHMAD AL-HADI






AHMAD AL-HADI
Pendiri NU Pertama di Bali
  
Ahad, 01/04/2007 10:22

Lahir pada tahun 1899 dari pasangan Kyai Dahlan Falak dan Nyai Ummu Kulsum Semarang dengan nama Ahmad. Semasa nyantri di Jamsaren, Kyai Idris Jamsaren memberikan julukan "al-Hadi" kepadanya sehingga ia pun dikenal dengan nama Ahmad al-Hadi. Disamping belajar kepada Kyai Idris, Ahmad muda juga pernah menuntut ilmu kepada sejumlah ulama besar tanah Jawa seperti Kyai Umar Sarang, Kyai Abdullah Termas, Kyai Khalil Bangkalan, Tuan Syeikh Jembrana [Bali] dan Kyai Hasyim Asy`ari. Ahmad al-Hadi juga pernah beberapa tahun menuntut ilmu di kota Mekkah sebelum akhirnya pulang ke Indonesia setelah Hijaz mengalami kekacauan besar akibat meletusnya revolusi Wahabi. 

Mendirikan Pesantren dan Madrasah
Pada tahun 1929, Ahmad al-Hadi hendak kembali nyantri kepada Tuan Syeikh di kampung Timur Sungai Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Namun sesampainya di kampung Timur Sungai, Tuan Syaikh yang dicarinya telah meninggal dunia. Akibatnya, kampung timur sungai mengalami masa vakum [masa masyarakat tidak memiliki figur ulama]. Seorang bangsawan Melayu, Datuk Hasan Kaya, mengangkatnya menjadi anak dan bermaksud menjadikannya sebagai figur pengganti Tuan Syeikh.
Setelah diangkat menjadi anak oleh Datuk Hasan Kaya, sang ayah pun memintanya menetap di Kampung Timur Sungai. Ia dipinta untuk mengajarkan ilmu agama di Masjid Bait al-Qadim. Sementara segala kebutuhan hidupnya disokong sepenuhnya oleh ayah angkatnya. Mulai saat itulah Ahmad al-Hadi menjadi penduduk Loloan yang mayoritas bersuku Bugis-Melayu dan berperan sebagai ulama muda yang sangat bersemangat dalam dunia pendidikan. Di masanya, Ia lebih populer dengan nama Ustadz Semarang.
Setelah setahun bermukim di kampung Timur Sungai, tepatnya pada 11 Agustus 1930, Ahmad al-Hadi mendirikan pondok pesantren Semarang [kini pondok pesantren Manba'ul Ulum]. Sebelum berdirinya pondok pesantren Semareang, sistem pendidikan di kawasan Jembrana dan Singaraja mengandalkan sistem pendidikan tradisional Langgar atau Surau. Namun setelah kedatangan Ahmad al-Hadi, sistem pondok pun segera di perkenalkan. Para santri disediakan tempat pemukiman di lingkungan pesantren dan dilatih untuk mempraktekkan ilmu yang mereka peroleh ke dalam kehidupan sehari-hari mereka di pesantren.
Di tahun yang sama, Ahmad al-Hadi juga memperkenalkan sistem pendidikan klasikal Islam "madrasah"  kepada masyarakat muslim Jembrana. Disamping untuk memfasilitasi kebutuhan umat Islam akan pendidikan agama, pendirian madrasah juga ditujukan untuk mengkader generasi bangsa yang anti terhadap imperialisme dan kolonialisme Hindia Belanda. Para santri dan murid-murid madrasah tidak diperkenankan untuk menggunakan pakaian, atribut, ataupun alat-alat musik yang sering digunakan oleh Belanda.
Datuk Haji Imran, santri senior yang kelak menjadi menantu Ahmad al-Hadi dan pendiri pondok pesantren Riyadlus Shalilhin Melaya,  tercatat sebagai seorang tokoh pemuda [sebutan untuk pejuang kemerdekaan] yang gigih melawan kolonialisme Belanda. Peran penting yang dimainkannya sebagai penghubung gerakan perjuangan kemerdekaan antara Bali bagian barat dan Jawa bagian timur membuat Datuk Haji Imran menjadi  tokoh yang paling dicari oleh pasukan NICA (pemerintah sementara Belanda).
Mengajarkan Agama dengan Syair Melayu
Walaupun berasal dari suku Jawa, namun kepedulian dan penghargaan Ahmad al-Hadi terhadap kebudayaan masyarakat Bugis-Melayu Bali, tempat ia tinggal. Setiap kali mengajar, ia tidak pernah menggunakan bahasa Jawa, namun selalu menggunakan bahasa Melayu. Ia juga rajin menggubah syair-syair nasihat yang ditujukan untuk mendidik santri agar memiliki akhlak yang mulia.
Disamping syair-syair nasihat Ahmad al-Hadi juga menggubah dasar  dari beberapa cabang ilmu agama yang diperolehnya dari kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam syair-syair Melayu. Semua usahanya ini ditujukan untuk mempermudah para santri yang mayoritas awam akan bahasa Arab dapat memahami ajaran-ajaran Islam dengan mudah. Bahkan tradisi belajar sambil bersyair ini kemudian terus diwariskan di daerah Jembrana dan juga diajarkan oleh para alumni yang mengajar di sejumlah kabupaten di Bali.
Gubahan sya'irnya yang paling banyak dihafal adalah pengajaran Tajwid dengan pendekatan "Talaqi" [dialog murid-guru]. Setiap guru bertanya, sang murid harus menjawab dengan syair yang berisi jumlah huruf yang memiliki status hukum tertentu dalam tajwid. Sebagai ilustrasi, dalam kasus idgham bila ghunnah, murid harus bisa menjawab pertanyaan guru tentang hukum "idgham bila ghunnah" dan menyebutkan syair berikut: "Idgham yang tidak ghunnah hurufnya : Cuma lah dua lam ra' namanya".
Di luar disiplin tajwid, Ahmad al-Hadi juga menggubah syair yang mengajarkan ilmu tauhid dan ilmu fiqh. Ada juga syair "Taubat" yang digunakan sebagai pembuka kegiatan "Taubat Nasuha" yang dilakukan oleh "Jama'ah al-Ikhlas", jama'ah yang didirikannya dan memiliki prosedur pengangkatan bai'at sebagaimana laiknya prosedur umum yang ada di dunia tarekat. Konon Ijazah Jama`ah al-Ikhlas ini diterimanya oleh Syeikh Hafidz Yamani.
Sedangkan syair-syair yang diperuntukkan kepada generasi muda, pada  umumnya mengambil tema seputar etika bergaul remaja serta menumbuhkan rasa cinta dan kesetiaan terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Syayang, kriteria syair-syair yang membahas tema ini sudah tidak banyak dikenal lagi kecuali hanya oleh santri yang pernah menimba ilmu secara langsung kepadanya.
Pendiri NU Pertama di Pulau Bali
Pada tahun 1933 Jembrana dijadikan target penyebaran faham Islam puritan pertama di Bali. Gerakan keagamaan yang mengatasnamakan purifikasi agama ini  mengkampanyekan pembersihan agama dari Takhayyul, Bid'ah dan Khurafat serta menghujat  praktik bermadzhab di kalangan umat Islam, sebuah gerakan yang meresahkan kehidupan masyarakat muslim di Jembrana.
Hal ini menyebabkan Ahmad al-Hadi tidak bisa tinggal diam. Ia maju untuk mempertahankan tradisi keagamaan umat Islam di Jembrana yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Ia menantang untuk melakukan debat terbuka terhadap siapapun yang berani mengutak-atik dan menyerang tradisi keagamaan yang disebutnya sebagai faham Ahlussunah wal Jama'ah. Bahkan untuk menjawab kecaman kelompok puritan terhadap praktek bermadzhab, Ahmad al-Hadi malah menunjukkan mewajibkan penggunaan "awik" atau cadar kepada semua santri dan murid perempuannya sebagai bukti kesetiaannya terhadap madzhab Syafi'i.
Namun untuk melawan gerakan Islam puritan yang terorganisir dengan baik tidak cukup hanya dengan perlawanan personal. Harus ada wadah persatuan yang dapat mengamankan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dari serangan kelompok-kelompok Islam lain. Hal inilah yang menyebabkan Kyai Wahab Hasbullah [di]datang[kan] ke Bali pada tahun 1934. Dengan hanya mengendarai Jukong, Kyai Wahab Hasbullah menyeberangi selat Bali dan mendarat di pelabuhan Jembrana [waktu itu pelabuhan yang menghubungkan pulau Jawa dan pulau Bali terletak di daerah Cupel].
Setelah beristirahat sejenak di Cupel, Kyai Wahab melanjutkan perjalanan menuju kampung Timur Sungai. Disamping Masjid Agung Baitul Qadim Loloan Timur, Kyai Wahab mengenalkan NU kepada para alim ulama masyarakat Islam Jembrana. Dalam Kesempatan itu Kyai Wahab berpidato: “Kalau boleh diibaratkan sebagai penjual obat, Saya ingin menjajakan saya punya obat kepada tuan-tuan, jika cocok alhamdulillah jika tidak cocok tidak apa-apa” [obat yang dimaksud adalah Nahdhatul Ulama].
Dalam pertemuan tersebut sempat terjadi tanya-jawab seputar masalah-masalah agama. Para ulama dan tokoh lokal Jembrana merasakan ada kecocokan antara ajaran Islam tradisional yang hidup di Jembrana dengan ideologi Ahlussunnah wal Jama'ah NU. Oleh karena itu, diplomasi Kyai Wahab dalam menawarkan NU ini dengan cepat dapat diterima dan menarik minat para ulama, para tokoh serta masyarakat setempat untuk bergabung ke dalam NU.
Mulai saat itulah organisasi NU berdiri dan memiliki struktur keorganisasian yang jelas. Sementara Ahmad al-Hadi segera dipilih secara aklamasi sebagai Rais `Am Cabang NU Jembrana yang sekaligus menjadi cabang NU pertama di pulau Bali. Di bawah kepemimpinannya, Gerakan NU di Jembrana segera mendirikan sejumlah madrasah di daerah-daerah yang menjadi basis umat Islam Jembrana. Walhasil, pada masa ini NU berhasil mendirikan madrasah di kampung Barat Sungai, Cupel dan Tukadaya sedangkan di kampung Timur Sungai sendiri telah berdiri madrasah yang beliau dirikan sebelum terbentuknya NU.
Namun setelah NU menjadi parpol, Kepemimpinan NU diserahkan kepada tiga ulama dari kampung Barat Sungai, antara lain: Ustadz Ali Bafaqih [pengasuh pondok pesantren Darul Huda Loloan Barat], Datuk Guru Nuh dan Datuk Haji Abdurrahman [Pengasuh Pesantren Darut Ta'lim Loloan Barat]. Sementara Ahmad al-Hadi sendiri segera menjauhkan diri dari arena politik praktis dan lebih memilih berkonsentrasi mengurus pesantren hingga akhir hayatnya.
Kendati Ahmad al-Hadi tidak aktif lagi di NU, namun anak-anak dan para menantunya tetap berjuang di garis depan dalam menegakkan NU, baik pada era Orde Lama, Orde Baru, maupun pada era reformasi. Ahmad al-Hadi atau Ustadz Semarang sendiri tutup usia pada tahun 1976 dan dikuburkan di depan masjid Agung Loloan Timur. Makamnya yang berdampingan dengan Kubur Syarif Abdullah al-Qadri, Adik Sultan Abdurrahman al-Qadri dari kerajaan Pontianak Kalimantan merupakan bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya bagi perkembangan Islam di Bali.(Rifqil Halim Muhammad)

HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH ( BALI )

HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH ( BALI )
 
Siapa yang sangka ternyata Bali yang di juluki Pulau Dewata ternyata menyimpan khasanah dakwa Islam. Kalau di Pulau Jawa terkenal dengan sebutan Wali Songo (sembian Wali) yang merupakn penyebar Islam Di Nusantara, di Bali disebut Wali Pitu (Tujuh Wali) siapa saja wali pitu yang ada di bali ? Mas Sepuh Raden Raden Amangkuningrat di Kabupaten Badung, Chabib Umar Bin Maulana Yusuf Al Magribi di Tabanan, Chabib Ali Bin abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid di Klungkung, Habib Ali Zaenal Abidin Al Idrus di Karangasem, Syech Maulana Yusuf Al Baghdi Al Magribi di Karangasem, The Kwan Lie di Buleleng, dan Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana.

Disi kami tidak akan membahas semuanya tapi hanya Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana sekilas tentang kehidupan Beliau dan Makamnya yang sering di kunjungi turis/peziarah dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Lampung, hingga peziarah yang datang dari Negeri Jiran seperti Trengganu Malaysia.

HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH

KH. Habib Ali Bafaqih dilahirkan dari pasangan Habib Umar dan Syarifah Nur, Beliau lahir pada tahun 1890 di Banyuwangi. Menjelang usia 20 tahun, atau sekitar tahun 1910, Sayyid Ali “berlayar” ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya. Keberangkatan ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Sanusi, ulama terkemuka di Banyuwangi pada masa itu. Beliau mukim di Siib Ali (Mekah) lebih kurang tujuh tahun lamanya. Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air dan menambahkan ilmunya di Pondok pesantren di Jombang yang di asuh oleh Kyai Wahab Abdullah. Selain mendalami ilmu Al Quran di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh.Jauh sebelum beliau mendirikan Pondok Pesantren “Syamsul Huda” di Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana, Beliau mengajar di Madrasah Khairiyah selama setahun di daerah kelahirannya Banyuwangi. Perjalanan ke Bali beliau lakukan perjalan ini atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said, seorang ulama besar di Loloan. Mulailah Syiar Islam berbinar di Loloan dengan makin bertambahnya ulama setingkat Kyai Sayyid Ali Bafaqih.

Baru pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang kini telah meneteskan ribuan ulama, da’i dan ustazah. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Mereka belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah.Tak terkecuali ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya lalu hijrah ke Loloan sekitar awal abad 19.

KH. Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 pada usia 107 tahun. Karena perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama Islam dan juga ketinggian ilmunya maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. Kini Makam beliau banyak di kunjungi atau diziarahi orang dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Lampung, tak kurang dari 10 Bus pariwisata yang datang ke Loloan. Syiar Islam di Bali pada masa silam telah meninggalkan sejumlah “Karya Besar” yang pada masanya kini dapat dijadikan landasan kikih bagi syiar Islam di masa-masa yang akan datang. Kampung Loloan telah menjadi legenda syiar Islam yang tetap hidup di Bali.

Makam Habib Ali beralamat Jln. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Beliau di makamkan di Area Pondok Pesantren “Syamsul Huda” .

Datuk H. Abdurrahman Bin Datuk H. Mahmud, Loloan Barat

Datuk H. Abdurrahman Bin Datuk H. Mahmud, Loloan Barat
DATUK H. ABDURRAHMAN BIN DATUK HAJI MAHMUD
Berkelanalah, Lalu Kembali ke Kampung Halaman

Beliau lahir pada tahun 1907 di Loloan Barat dengan nama Muhammad Qasim dalam keluarga Ulama Bugis-Melayu Loloan. Ketika kecil Abdurrahman belajar agama dari kedua orang tuanya, namun menginjak usia 10 tahun beliau dikirim ke daerah Pengastulan untuk mengaji Al-Qur'an kepada Tuan Guru Abdul Hamid hingga berusia 18 tahun. Pada tahun 1925 Datuk Haji Mahmud mengirimkan Muhammad Qasim remaja ke Jazirah Arabia, tepatnya ke kota Suci Mekkah yang waktu itu memang menjadi tempat tujuan belajar bagi masyarakat Islam Nusantara.

Di kota Mekkah beliau bermukim di kediaman Syeikh Isa Palembang yang sudah menjadi penduduk tetap kota Mekkah dan belajar berbagai disiplin ilmu agama dari sejumlah ulama besar yang mengajar di sana. Diantara guru-guru beliau adalah Syeikh Alwi Al-Maliki, Syeikh Umar, Syeikh Hamdan al-Maghrabi serta seorang ulama besar ilmu hadits asal Palestina.

Di kota suci ini pula beliau bertemu dengan para santri Indonesia yang lain seperti Zainuddin Pancor, Wahid Hasyim Jombang dan Ambo Dalle’ Sulawesi. Di antara teman beliau yang paling akrab adalah Wahid Hasyim. Menurut penuturan beliau ketika masih hidup, setiap hari beliau dan Wahid Hasyim pergi ke pedalaman dan bermain bola bersama orang-orang Baduwi. Dan malam harinya sepulang dari bermain bola, Wahid Hasyim yang saat itu sedang suka menulis, acapkali mengirimkan essai tentang watak dan kebiasaan orang Baduwi ke majalah Jumhuriyah. Beliau belajar di kota suci selama kurang lebih sembilan tahun.

Sepulang dari Kota Mekkah, Muhammad Qasim kemudian pulang ke kampung halaman dengan menyandang nama baru, Datuk Haji Abdurrahman. Belum lama beliau menetap di Bali, Datuk Haji Abdurrahman merasa tidak nyaman karena ketika itu terjadi perpecahan di tengah masyarakat muslim Loloan yang di picu oleh perbedaan pandangan fiqh antara Ustadz Ali Bafaqih dan Ustadz Semarang, dua orang ulama yang lebih dahulu pulang dari kota Mekkah daripada beliau.

Oleh karena itu beliau pun pergi ke Rembang dan mengaji kitab kepada Kyai Musthofa. Selain belajar kepada Kyai Musthofa, beliau juga belajar sejarah kepada Bisri Mushtofa yang tidak lain adalah teman sekamar beliau selama di Rembang. Namun tak selang beberapa lama beliau pindah ke Jombang untuk berjumpa dengan teman lamanya Wahid Hasyim.

Karena pertemanannya dengan Kyai Wahid Hasyim, keberadaan beliau di pesantren Jombang lebih diposisikan sebagai tamu daripada sebagai santri. Beliau sering disuruh memijat Kyai Hasyim Asy’ari dan acapkali mendapat bagian menjadi imam sholat karena keunggulan di bidang ilmu Tajwid Tajwid dan kefasihan bacaan al-Qur’an yang beliau miliki.

Tak selang beberapa lama, Datuk Haji Abdurrahman mengutarakan masalah yang membuatnya pergi meninggalkan kampung halamannya dan berniat untuk menetap di pesantren Kyai Hasyim. Namun keinginan tersebut tidak mendapat restu dari Kyai Hasyim Asy’ari. Menurut pendapat Kyai Hasyim umat Islam di Bali akan lebih membutuhkan kehadiran beliau ketimbang umat Islam di tanah Jawa. Setelah mendengar pendapat Kyai Hasyim Asy`ari tersebut, beliau pun kemudian pulang ke Bali dan mulai mengajarkan ilmu agama di Loloan Barat.

Ketika awal-awal beliau menetap di pulau Bali, beliau aktif mengajar ilmu agama hingga ke daerah-daerah pelosok sebagai guru GAH (guru agama honorium). Namun setelah menderita sakit, beliau kemudian hanya mengajar di rumah hingga akhirnya pada tahun 1940 rumah kediaman beliau berubah menjadi pesantren diberi nama Darut Ta`lim.

Di masa penjajahan Jepang, ketika terjadi perbedaan pendapat di antara ulama lokal dalam masalah fiqhiyah (yakni masalah didirikannya dua masjid dengn jarak yang berdekatan), Datuk Guru Ilyas mengirim surat kepada para pelajar Indonesia yang berada di Kota Mekkah untuk mendapatkan putusan hukum dari para Ulama yang ada di sana. Tak selang beberapa lama datanglah Kyai Wahab Hasbullah dari tanah Jawa sebagai jawabannya dengan membawa keputusan hukum.

Disamping membawa fatwa hukum, Kyai Wahab Hasbullah juga tampil menjajakan NU di tengah-tengah ulama lokal. Menurut Datuk Haji Abdurrahman Kyai berkata: “Saya ingin menjajakan saya punya obat kepada tuan-tuan, jika cocok alhamdulillah jika tidak cocok tidak apa-apa” dan obat yang dimaksud adalah Nahdhatul Ulama.

Dari pertemuan inilah Datuk Haji Abdurrahman kemudian terlibat aktif ke dalam pembidanan NU dan bersama-sama Datuk Guru Nuh dan Ustadz Ali Bafaqih mensosialisasikan NU kepada masyarakat muslim Bali. Ketika NU sudah menjadi Partai politik, mau tidak mau Datuk Abdurrahman yang sebenarnya merupakan ulama yang tidak suka dengan politik praktis akhirnya terlibat.

Setelah terjadi Gestapu, tepatnya pada tanggal 30 November 1965 Datuk Haji Abdurrahman menurunkan santri-santrinya bersma Anshor dan TNI untuk mengadakan penangkapan terhadap pentolan PKI yang mengadakan rapat rahasia. Dalam penggerebekan rapat rahasia PKI di Tegal Badeng (Ladang Hitam) dua orang sipil dan seorang tentara gugur tertembak oknum PKI. Salah seorang yang gugur tersebut adalah santri pesantren Darut Ta`lim, kang Paimin. Gugurnya tiga orang ini kemudian menjadi sebab terjadinya aksi balasan GP Anshor dan ABRI mengadakan penyerbuan terbuka keesokan harinya dan mengakibatkan ratusan anggota PKI mati terbunuh.

Setelah penyederhanaan partai menjadi GOLKAR, PPP dan PDI Datuk Haji Abdrurrahman pun meninggalkan arena politik. Beliau kembali tampil sebagai seorang ulama yang sabar, santun dan menjadi tempat bertanya masyarakat, ustadz-ustadz muda dan para ulama.

Sementara dalam mengelola pondok pesantren, beliau tetap mempertahankan pendidikan bandungan dan tidak mengembangkannya kepada model klasikal apalagi model pendidikan modern hingga beliau tutup usia pada 2003 di usianya yang ke 97. Karena beliau ingin hidup tidak dibedakan dengan masyarakat, beliau pun dimakamkan di pemakaman umum komunitas Bugis-Melayu yang terletak di kelurahan Loloan Timur.

Disadur kembali oleh Rifkil Halim Muhammad

TILAWAH QURAN JUZ 30 SYEKH ALI JABER