Datuk H. Abdurrahman Bin Datuk H. Mahmud, Loloan Barat
DATUK H. ABDURRAHMAN BIN DATUK HAJI MAHMUD
Berkelanalah, Lalu Kembali ke Kampung Halaman
Beliau lahir pada tahun 1907 di Loloan Barat dengan nama Muhammad Qasim dalam keluarga Ulama Bugis-Melayu Loloan. Ketika kecil Abdurrahman belajar agama dari kedua orang tuanya, namun menginjak usia 10 tahun beliau dikirim ke daerah Pengastulan untuk mengaji Al-Qur'an kepada Tuan Guru Abdul Hamid hingga berusia 18 tahun. Pada tahun 1925 Datuk Haji Mahmud mengirimkan Muhammad Qasim remaja ke Jazirah Arabia, tepatnya ke kota Suci Mekkah yang waktu itu memang menjadi tempat tujuan belajar bagi masyarakat Islam Nusantara.
Di kota Mekkah beliau bermukim di kediaman
Syeikh Isa Palembang yang sudah menjadi penduduk tetap kota Mekkah dan
belajar berbagai disiplin ilmu agama dari sejumlah ulama besar yang
mengajar di sana. Diantara guru-guru beliau adalah Syeikh Alwi
Al-Maliki, Syeikh Umar, Syeikh Hamdan al-Maghrabi serta seorang ulama
besar ilmu hadits asal Palestina.
Di kota suci ini pula beliau bertemu
dengan para santri Indonesia yang lain seperti Zainuddin Pancor, Wahid
Hasyim Jombang dan Ambo Dalle’ Sulawesi. Di antara teman beliau yang
paling akrab adalah Wahid Hasyim. Menurut penuturan beliau ketika masih
hidup, setiap hari beliau dan Wahid Hasyim pergi ke pedalaman dan
bermain bola bersama orang-orang Baduwi. Dan malam harinya sepulang dari
bermain bola, Wahid Hasyim yang saat itu sedang suka menulis, acapkali
mengirimkan essai tentang watak dan kebiasaan orang Baduwi ke majalah Jumhuriyah. Beliau belajar di kota suci selama kurang lebih sembilan tahun.
Sepulang dari Kota Mekkah, Muhammad Qasim
kemudian pulang ke kampung halaman dengan menyandang nama baru, Datuk
Haji Abdurrahman. Belum lama beliau menetap di Bali, Datuk Haji
Abdurrahman merasa tidak nyaman karena ketika itu terjadi perpecahan di
tengah masyarakat muslim Loloan yang di picu oleh perbedaan pandangan
fiqh antara Ustadz Ali Bafaqih dan Ustadz Semarang, dua orang ulama yang
lebih dahulu pulang dari kota Mekkah daripada beliau.
Oleh karena itu beliau pun pergi ke
Rembang dan mengaji kitab kepada Kyai Musthofa. Selain belajar kepada
Kyai Musthofa, beliau juga belajar sejarah kepada Bisri Mushtofa yang
tidak lain adalah teman sekamar beliau selama di Rembang. Namun tak
selang beberapa lama beliau pindah ke Jombang untuk berjumpa dengan
teman lamanya Wahid Hasyim.
Karena pertemanannya dengan Kyai Wahid
Hasyim, keberadaan beliau di pesantren Jombang lebih diposisikan sebagai
tamu daripada sebagai santri. Beliau sering disuruh memijat Kyai Hasyim
Asy’ari dan acapkali mendapat bagian menjadi imam sholat karena
keunggulan di bidang ilmu Tajwid Tajwid dan kefasihan bacaan al-Qur’an
yang beliau miliki.
Tak selang beberapa lama, Datuk Haji
Abdurrahman mengutarakan masalah yang membuatnya pergi meninggalkan
kampung halamannya dan berniat untuk menetap di pesantren Kyai Hasyim.
Namun keinginan tersebut tidak mendapat restu dari Kyai Hasyim Asy’ari.
Menurut pendapat Kyai Hasyim umat Islam di Bali akan lebih membutuhkan
kehadiran beliau ketimbang umat Islam di tanah Jawa. Setelah mendengar
pendapat Kyai Hasyim Asy`ari tersebut, beliau pun kemudian pulang ke
Bali dan mulai mengajarkan ilmu agama di Loloan Barat.
Ketika awal-awal beliau menetap di pulau
Bali, beliau aktif mengajar ilmu agama hingga ke daerah-daerah pelosok
sebagai guru GAH (guru agama honorium). Namun setelah menderita sakit,
beliau kemudian hanya mengajar di rumah hingga akhirnya pada tahun 1940
rumah kediaman beliau berubah menjadi pesantren diberi nama Darut
Ta`lim.
Di masa penjajahan Jepang, ketika terjadi
perbedaan pendapat di antara ulama lokal dalam masalah fiqhiyah (yakni
masalah didirikannya dua masjid dengn jarak yang berdekatan), Datuk Guru
Ilyas mengirim surat kepada para pelajar Indonesia yang berada di Kota
Mekkah untuk mendapatkan putusan hukum dari para Ulama yang ada di sana.
Tak selang beberapa lama datanglah Kyai Wahab Hasbullah dari tanah Jawa
sebagai jawabannya dengan membawa keputusan hukum.
Disamping membawa fatwa hukum, Kyai Wahab
Hasbullah juga tampil menjajakan NU di tengah-tengah ulama lokal.
Menurut Datuk Haji Abdurrahman Kyai berkata: “Saya ingin menjajakan saya
punya obat kepada tuan-tuan, jika cocok alhamdulillah jika tidak cocok tidak apa-apa” dan obat yang dimaksud adalah Nahdhatul Ulama.
Dari pertemuan inilah Datuk Haji
Abdurrahman kemudian terlibat aktif ke dalam pembidanan NU dan
bersama-sama Datuk Guru Nuh dan Ustadz Ali Bafaqih mensosialisasikan NU
kepada masyarakat muslim Bali. Ketika NU sudah menjadi Partai politik,
mau tidak mau Datuk Abdurrahman yang sebenarnya merupakan ulama yang
tidak suka dengan politik praktis akhirnya terlibat.
Setelah terjadi Gestapu, tepatnya pada
tanggal 30 November 1965 Datuk Haji Abdurrahman menurunkan
santri-santrinya bersma Anshor dan TNI untuk mengadakan penangkapan
terhadap pentolan PKI yang mengadakan rapat rahasia. Dalam penggerebekan
rapat rahasia PKI di Tegal Badeng (Ladang Hitam) dua orang sipil dan
seorang tentara gugur tertembak oknum PKI. Salah seorang yang gugur
tersebut adalah santri pesantren Darut Ta`lim, kang Paimin. Gugurnya
tiga orang ini kemudian menjadi sebab terjadinya aksi balasan GP Anshor
dan ABRI mengadakan penyerbuan terbuka keesokan harinya dan
mengakibatkan ratusan anggota PKI mati terbunuh.
Setelah penyederhanaan partai menjadi
GOLKAR, PPP dan PDI Datuk Haji Abdrurrahman pun meninggalkan arena
politik. Beliau kembali tampil sebagai seorang ulama yang sabar, santun
dan menjadi tempat bertanya masyarakat, ustadz-ustadz muda dan para
ulama.
Sementara dalam mengelola pondok pesantren, beliau tetap mempertahankan pendidikan bandungan
dan tidak mengembangkannya kepada model klasikal apalagi model
pendidikan modern hingga beliau tutup usia pada 2003 di usianya yang ke
97. Karena beliau ingin hidup tidak dibedakan dengan masyarakat, beliau
pun dimakamkan di pemakaman umum komunitas Bugis-Melayu yang terletak di
kelurahan Loloan Timur.
Disadur kembali oleh Rifkil Halim Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar