Loloan kampung islam jembrana
Februari 21st, 2011 1 Comment Tak Berkategori
Loloan
adalah nama desa yang berada di kabupaten Jembrana Propinsi Bali,
terpisah oleh sebuah sungai yang disebut sungai Ijo Gading menjadi dua
desa, Loloan Barat dan Loloan Timur, dan dihubungkan oleh sebuah
jembatan yang bernama Jembatan Syarif Tua. Loloan memiliki bahasa
sendiri yang tidak sama dengan bahasa wilayah-wilayah di sekitarnya,
bukan bahasa Bali, bahasa Jawa, atau pun lainnya. Tapi bahasa kampung
Loloan (Base Loloan) yang mirip dengan bahasa melayu.
Sejarah Loloan
Keberadaan
daerah Loloan tidak bisa dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di
Jembrana. Menurut H. Husin Abdul Jabbar, Islam pertama kali masuk
Jembrana sekitar tahun 1653 hingga 1657. Mereka yang datang pada masa
itu adalah penduduk Sulawesi Selatan. Diperkirakan mereka dikejar-kejar
tentara VOC.
Akhirnya, penduduk yang datang dengan perahu lambau
dan pinisi ini mendarat di Air Kuning. Saat itu penduduk Air Kuning
sangat jarang. Kedatangan suku Bugis dan Makasar ini membuat Air Kuning
menjadi ramai, hingga menjadi pemukiman pertama Islam di Jembrana.
Sampai
dengan tahun 1669, kehidupan Air Kuning sangat damai. Orang Bugis yang
tidak bisa diam dan suka belayar mulai melakukan aktivitas perdagangan.
Kerajaan
Jembrana pada masa itu dipimpin keturunan I Gusti Ngurah Pancoran.
Penguasa senang dengan keberadaan orang-orang Bugis. Pasalnya, mereka
adalah tentara-tentara yang terlatih dan memiliki persenjataan lengkap.
Situasi makmur dan aman pun bisa terwujud.
Tahun 1670, kerajaan
Buleleng yang iri melihat keberadaan Jembrana, melakukan penyerangan.
Jembrana pun takluk. Selanjutnya, Buleleng mengatur pasar. Mereka
membuat dermaga baru di Tibu Sungai Ijo Gading. Dermaga ini dibuat
sekitar tahun 1671 dan dinamai Tibu Bunter. Pemukiman dan pasar rakyat
juga dibuat disekitar daerah tersebut. Lama-kelamaan pemukiman ini
menjadi kampung muslim yang dikenal dengan kampung pancoran karena
lokasinya juga dekat Tibu Pancoran dan ada juga yang menyebut kerobokan.
Tahun
1798, datang rombongan dari Pontianak yang merapat di Pancoran.
Sebelumnya mereka berada di Lombok, perang melawan Belanda. Rombongan
dipimpin Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qodri yang bergelar Syarif
Tua. Anak buah Syarif Tua berasal dari Bugis, Melayu bahkan dari Arab.
Syarif
Tua lalu berkenalan dengan penguasa Jembrana Gusti Putu Handul. Sebagai
pendatang, Syarif Tua dan rombongan diberi tempat disisi timur dan
barat Sungai Ijo Gading. Mereka pun melakukan perabasan selama dua tahun
untuk membuka pemukiman.
Pada saat melakukan perabasan,
rombongan ini menyusuri Sungai Ijo Gading yang berliku-liku. Dalam
bahasa Banjarmasin liku-liku itu sama dengan liluan, lama-kelamaan
liluan itu menjadi Loloan, dibagian barat sungai dinamakan Loloan Barat
sedangkan di timur Loloan Timur.
Versi kedua menyebutkan, Loloan
berarti tibu yang sangat dalam yang difungsikan sebagai dermaga. Versi
ketiga, Loloan berasal dari kata loloh (jamu). Ketika itu, di Tibu
Pancoran banyak pedagang jamu (loloh). Karena di wilayah tersebut banyak
ditanami bahan loloh, maka di daerahnya dikenal sebagai lolohan atau
loloan. “Versi kedua adalah yang paling mendekati, kenapa Loloan
dinamakan Loloan.” Ujar Husin Abdul Jabbar.
Berdasarkan catatan
sejarah, pada tahun 1697 terjadi banjir besar. Air Sungai Ijo Gading
meluap. Banyak rumah penduduk yang hanyut. Sejak saat itu, penduduk
membuat rumah panggung untuk mengurangi risiko hanyut. Selain itu, rumah
panggung juga dibuat berdasarkan faktor keamanan. Rumah panggung yang
dibangun pun sesuai dengan suku asal para pendatang itu. Sampai tahun
1700-an, rumah panggung mulai bermunculan di wilayah Loloan.