Senin, 31 Desember 2012

Loloan kampung islam jembrana
Februari 21st, 2011 1 Comment Tak Berkategori

Loloan adalah nama desa yang berada di kabupaten Jembrana Propinsi Bali, terpisah oleh sebuah sungai yang disebut sungai Ijo Gading menjadi dua desa, Loloan Barat dan Loloan Timur, dan dihubungkan oleh sebuah jembatan yang bernama Jembatan Syarif Tua. Loloan memiliki bahasa sendiri yang tidak sama dengan bahasa wilayah-wilayah di sekitarnya, bukan bahasa Bali, bahasa Jawa, atau pun lainnya. Tapi bahasa kampung Loloan (Base Loloan) yang mirip dengan bahasa melayu.

Sejarah Loloan

Keberadaan daerah Loloan tidak bisa dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di Jembrana. Menurut H. Husin Abdul Jabbar, Islam pertama kali masuk Jembrana sekitar tahun 1653 hingga 1657. Mereka yang datang pada masa itu adalah penduduk Sulawesi Selatan. Diperkirakan mereka dikejar-kejar tentara VOC.

Akhirnya, penduduk yang datang dengan perahu lambau dan pinisi ini mendarat di Air Kuning. Saat itu penduduk Air Kuning sangat jarang. Kedatangan suku Bugis dan Makasar ini membuat Air Kuning menjadi ramai, hingga menjadi pemukiman pertama Islam di Jembrana.

Sampai dengan tahun 1669, kehidupan Air Kuning sangat damai. Orang Bugis yang tidak bisa diam dan suka belayar mulai melakukan aktivitas perdagangan.

Kerajaan Jembrana pada masa itu dipimpin keturunan I Gusti Ngurah Pancoran. Penguasa senang dengan keberadaan orang-orang Bugis. Pasalnya, mereka adalah tentara-tentara yang terlatih dan memiliki persenjataan lengkap. Situasi makmur dan aman pun bisa terwujud.

Tahun 1670, kerajaan Buleleng yang iri melihat keberadaan Jembrana, melakukan penyerangan. Jembrana pun takluk. Selanjutnya, Buleleng mengatur pasar. Mereka membuat dermaga baru di Tibu Sungai Ijo Gading. Dermaga ini dibuat sekitar tahun 1671 dan dinamai Tibu Bunter. Pemukiman dan pasar rakyat juga dibuat disekitar daerah tersebut. Lama-kelamaan pemukiman ini menjadi kampung muslim yang dikenal dengan kampung pancoran karena lokasinya juga dekat Tibu Pancoran dan ada juga yang menyebut kerobokan.

Tahun 1798, datang rombongan dari Pontianak yang merapat di Pancoran. Sebelumnya mereka berada di Lombok, perang melawan Belanda. Rombongan dipimpin Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qodri yang bergelar Syarif Tua. Anak buah Syarif Tua berasal dari Bugis, Melayu bahkan dari Arab.

Syarif Tua lalu berkenalan dengan penguasa Jembrana Gusti Putu Handul. Sebagai pendatang, Syarif Tua dan rombongan diberi tempat disisi timur dan barat Sungai Ijo Gading. Mereka pun melakukan perabasan selama dua tahun untuk membuka pemukiman.

Pada saat melakukan perabasan, rombongan ini menyusuri Sungai Ijo Gading yang berliku-liku. Dalam bahasa Banjarmasin liku-liku itu sama dengan liluan, lama-kelamaan liluan itu menjadi Loloan, dibagian barat sungai dinamakan Loloan Barat sedangkan di timur Loloan Timur.

Versi kedua menyebutkan, Loloan berarti tibu yang sangat dalam yang difungsikan sebagai dermaga. Versi ketiga, Loloan berasal dari kata loloh (jamu). Ketika itu, di Tibu Pancoran banyak pedagang jamu (loloh). Karena di wilayah tersebut banyak ditanami bahan loloh, maka di daerahnya dikenal sebagai lolohan atau loloan. “Versi kedua adalah yang paling mendekati, kenapa Loloan dinamakan Loloan.” Ujar Husin Abdul Jabbar.

Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1697 terjadi banjir besar. Air Sungai Ijo Gading meluap. Banyak rumah penduduk yang hanyut. Sejak saat itu, penduduk membuat rumah panggung untuk mengurangi risiko hanyut. Selain itu, rumah panggung juga dibuat berdasarkan faktor keamanan. Rumah panggung yang dibangun pun sesuai dengan suku asal para pendatang itu. Sampai tahun 1700-an, rumah panggung mulai bermunculan di wilayah Loloan.

dipostkan oleh ryan’s blog.

AHMAD AL-HADI






AHMAD AL-HADI
Pendiri NU Pertama di Bali
  
Ahad, 01/04/2007 10:22

Lahir pada tahun 1899 dari pasangan Kyai Dahlan Falak dan Nyai Ummu Kulsum Semarang dengan nama Ahmad. Semasa nyantri di Jamsaren, Kyai Idris Jamsaren memberikan julukan "al-Hadi" kepadanya sehingga ia pun dikenal dengan nama Ahmad al-Hadi. Disamping belajar kepada Kyai Idris, Ahmad muda juga pernah menuntut ilmu kepada sejumlah ulama besar tanah Jawa seperti Kyai Umar Sarang, Kyai Abdullah Termas, Kyai Khalil Bangkalan, Tuan Syeikh Jembrana [Bali] dan Kyai Hasyim Asy`ari. Ahmad al-Hadi juga pernah beberapa tahun menuntut ilmu di kota Mekkah sebelum akhirnya pulang ke Indonesia setelah Hijaz mengalami kekacauan besar akibat meletusnya revolusi Wahabi. 

Mendirikan Pesantren dan Madrasah
Pada tahun 1929, Ahmad al-Hadi hendak kembali nyantri kepada Tuan Syeikh di kampung Timur Sungai Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Namun sesampainya di kampung Timur Sungai, Tuan Syaikh yang dicarinya telah meninggal dunia. Akibatnya, kampung timur sungai mengalami masa vakum [masa masyarakat tidak memiliki figur ulama]. Seorang bangsawan Melayu, Datuk Hasan Kaya, mengangkatnya menjadi anak dan bermaksud menjadikannya sebagai figur pengganti Tuan Syeikh.
Setelah diangkat menjadi anak oleh Datuk Hasan Kaya, sang ayah pun memintanya menetap di Kampung Timur Sungai. Ia dipinta untuk mengajarkan ilmu agama di Masjid Bait al-Qadim. Sementara segala kebutuhan hidupnya disokong sepenuhnya oleh ayah angkatnya. Mulai saat itulah Ahmad al-Hadi menjadi penduduk Loloan yang mayoritas bersuku Bugis-Melayu dan berperan sebagai ulama muda yang sangat bersemangat dalam dunia pendidikan. Di masanya, Ia lebih populer dengan nama Ustadz Semarang.
Setelah setahun bermukim di kampung Timur Sungai, tepatnya pada 11 Agustus 1930, Ahmad al-Hadi mendirikan pondok pesantren Semarang [kini pondok pesantren Manba'ul Ulum]. Sebelum berdirinya pondok pesantren Semareang, sistem pendidikan di kawasan Jembrana dan Singaraja mengandalkan sistem pendidikan tradisional Langgar atau Surau. Namun setelah kedatangan Ahmad al-Hadi, sistem pondok pun segera di perkenalkan. Para santri disediakan tempat pemukiman di lingkungan pesantren dan dilatih untuk mempraktekkan ilmu yang mereka peroleh ke dalam kehidupan sehari-hari mereka di pesantren.
Di tahun yang sama, Ahmad al-Hadi juga memperkenalkan sistem pendidikan klasikal Islam "madrasah"  kepada masyarakat muslim Jembrana. Disamping untuk memfasilitasi kebutuhan umat Islam akan pendidikan agama, pendirian madrasah juga ditujukan untuk mengkader generasi bangsa yang anti terhadap imperialisme dan kolonialisme Hindia Belanda. Para santri dan murid-murid madrasah tidak diperkenankan untuk menggunakan pakaian, atribut, ataupun alat-alat musik yang sering digunakan oleh Belanda.
Datuk Haji Imran, santri senior yang kelak menjadi menantu Ahmad al-Hadi dan pendiri pondok pesantren Riyadlus Shalilhin Melaya,  tercatat sebagai seorang tokoh pemuda [sebutan untuk pejuang kemerdekaan] yang gigih melawan kolonialisme Belanda. Peran penting yang dimainkannya sebagai penghubung gerakan perjuangan kemerdekaan antara Bali bagian barat dan Jawa bagian timur membuat Datuk Haji Imran menjadi  tokoh yang paling dicari oleh pasukan NICA (pemerintah sementara Belanda).
Mengajarkan Agama dengan Syair Melayu
Walaupun berasal dari suku Jawa, namun kepedulian dan penghargaan Ahmad al-Hadi terhadap kebudayaan masyarakat Bugis-Melayu Bali, tempat ia tinggal. Setiap kali mengajar, ia tidak pernah menggunakan bahasa Jawa, namun selalu menggunakan bahasa Melayu. Ia juga rajin menggubah syair-syair nasihat yang ditujukan untuk mendidik santri agar memiliki akhlak yang mulia.
Disamping syair-syair nasihat Ahmad al-Hadi juga menggubah dasar  dari beberapa cabang ilmu agama yang diperolehnya dari kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam syair-syair Melayu. Semua usahanya ini ditujukan untuk mempermudah para santri yang mayoritas awam akan bahasa Arab dapat memahami ajaran-ajaran Islam dengan mudah. Bahkan tradisi belajar sambil bersyair ini kemudian terus diwariskan di daerah Jembrana dan juga diajarkan oleh para alumni yang mengajar di sejumlah kabupaten di Bali.
Gubahan sya'irnya yang paling banyak dihafal adalah pengajaran Tajwid dengan pendekatan "Talaqi" [dialog murid-guru]. Setiap guru bertanya, sang murid harus menjawab dengan syair yang berisi jumlah huruf yang memiliki status hukum tertentu dalam tajwid. Sebagai ilustrasi, dalam kasus idgham bila ghunnah, murid harus bisa menjawab pertanyaan guru tentang hukum "idgham bila ghunnah" dan menyebutkan syair berikut: "Idgham yang tidak ghunnah hurufnya : Cuma lah dua lam ra' namanya".
Di luar disiplin tajwid, Ahmad al-Hadi juga menggubah syair yang mengajarkan ilmu tauhid dan ilmu fiqh. Ada juga syair "Taubat" yang digunakan sebagai pembuka kegiatan "Taubat Nasuha" yang dilakukan oleh "Jama'ah al-Ikhlas", jama'ah yang didirikannya dan memiliki prosedur pengangkatan bai'at sebagaimana laiknya prosedur umum yang ada di dunia tarekat. Konon Ijazah Jama`ah al-Ikhlas ini diterimanya oleh Syeikh Hafidz Yamani.
Sedangkan syair-syair yang diperuntukkan kepada generasi muda, pada  umumnya mengambil tema seputar etika bergaul remaja serta menumbuhkan rasa cinta dan kesetiaan terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Syayang, kriteria syair-syair yang membahas tema ini sudah tidak banyak dikenal lagi kecuali hanya oleh santri yang pernah menimba ilmu secara langsung kepadanya.
Pendiri NU Pertama di Pulau Bali
Pada tahun 1933 Jembrana dijadikan target penyebaran faham Islam puritan pertama di Bali. Gerakan keagamaan yang mengatasnamakan purifikasi agama ini  mengkampanyekan pembersihan agama dari Takhayyul, Bid'ah dan Khurafat serta menghujat  praktik bermadzhab di kalangan umat Islam, sebuah gerakan yang meresahkan kehidupan masyarakat muslim di Jembrana.
Hal ini menyebabkan Ahmad al-Hadi tidak bisa tinggal diam. Ia maju untuk mempertahankan tradisi keagamaan umat Islam di Jembrana yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Ia menantang untuk melakukan debat terbuka terhadap siapapun yang berani mengutak-atik dan menyerang tradisi keagamaan yang disebutnya sebagai faham Ahlussunah wal Jama'ah. Bahkan untuk menjawab kecaman kelompok puritan terhadap praktek bermadzhab, Ahmad al-Hadi malah menunjukkan mewajibkan penggunaan "awik" atau cadar kepada semua santri dan murid perempuannya sebagai bukti kesetiaannya terhadap madzhab Syafi'i.
Namun untuk melawan gerakan Islam puritan yang terorganisir dengan baik tidak cukup hanya dengan perlawanan personal. Harus ada wadah persatuan yang dapat mengamankan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dari serangan kelompok-kelompok Islam lain. Hal inilah yang menyebabkan Kyai Wahab Hasbullah [di]datang[kan] ke Bali pada tahun 1934. Dengan hanya mengendarai Jukong, Kyai Wahab Hasbullah menyeberangi selat Bali dan mendarat di pelabuhan Jembrana [waktu itu pelabuhan yang menghubungkan pulau Jawa dan pulau Bali terletak di daerah Cupel].
Setelah beristirahat sejenak di Cupel, Kyai Wahab melanjutkan perjalanan menuju kampung Timur Sungai. Disamping Masjid Agung Baitul Qadim Loloan Timur, Kyai Wahab mengenalkan NU kepada para alim ulama masyarakat Islam Jembrana. Dalam Kesempatan itu Kyai Wahab berpidato: “Kalau boleh diibaratkan sebagai penjual obat, Saya ingin menjajakan saya punya obat kepada tuan-tuan, jika cocok alhamdulillah jika tidak cocok tidak apa-apa” [obat yang dimaksud adalah Nahdhatul Ulama].
Dalam pertemuan tersebut sempat terjadi tanya-jawab seputar masalah-masalah agama. Para ulama dan tokoh lokal Jembrana merasakan ada kecocokan antara ajaran Islam tradisional yang hidup di Jembrana dengan ideologi Ahlussunnah wal Jama'ah NU. Oleh karena itu, diplomasi Kyai Wahab dalam menawarkan NU ini dengan cepat dapat diterima dan menarik minat para ulama, para tokoh serta masyarakat setempat untuk bergabung ke dalam NU.
Mulai saat itulah organisasi NU berdiri dan memiliki struktur keorganisasian yang jelas. Sementara Ahmad al-Hadi segera dipilih secara aklamasi sebagai Rais `Am Cabang NU Jembrana yang sekaligus menjadi cabang NU pertama di pulau Bali. Di bawah kepemimpinannya, Gerakan NU di Jembrana segera mendirikan sejumlah madrasah di daerah-daerah yang menjadi basis umat Islam Jembrana. Walhasil, pada masa ini NU berhasil mendirikan madrasah di kampung Barat Sungai, Cupel dan Tukadaya sedangkan di kampung Timur Sungai sendiri telah berdiri madrasah yang beliau dirikan sebelum terbentuknya NU.
Namun setelah NU menjadi parpol, Kepemimpinan NU diserahkan kepada tiga ulama dari kampung Barat Sungai, antara lain: Ustadz Ali Bafaqih [pengasuh pondok pesantren Darul Huda Loloan Barat], Datuk Guru Nuh dan Datuk Haji Abdurrahman [Pengasuh Pesantren Darut Ta'lim Loloan Barat]. Sementara Ahmad al-Hadi sendiri segera menjauhkan diri dari arena politik praktis dan lebih memilih berkonsentrasi mengurus pesantren hingga akhir hayatnya.
Kendati Ahmad al-Hadi tidak aktif lagi di NU, namun anak-anak dan para menantunya tetap berjuang di garis depan dalam menegakkan NU, baik pada era Orde Lama, Orde Baru, maupun pada era reformasi. Ahmad al-Hadi atau Ustadz Semarang sendiri tutup usia pada tahun 1976 dan dikuburkan di depan masjid Agung Loloan Timur. Makamnya yang berdampingan dengan Kubur Syarif Abdullah al-Qadri, Adik Sultan Abdurrahman al-Qadri dari kerajaan Pontianak Kalimantan merupakan bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya bagi perkembangan Islam di Bali.(Rifqil Halim Muhammad)

HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH ( BALI )

HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH ( BALI )
 
Siapa yang sangka ternyata Bali yang di juluki Pulau Dewata ternyata menyimpan khasanah dakwa Islam. Kalau di Pulau Jawa terkenal dengan sebutan Wali Songo (sembian Wali) yang merupakn penyebar Islam Di Nusantara, di Bali disebut Wali Pitu (Tujuh Wali) siapa saja wali pitu yang ada di bali ? Mas Sepuh Raden Raden Amangkuningrat di Kabupaten Badung, Chabib Umar Bin Maulana Yusuf Al Magribi di Tabanan, Chabib Ali Bin abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid di Klungkung, Habib Ali Zaenal Abidin Al Idrus di Karangasem, Syech Maulana Yusuf Al Baghdi Al Magribi di Karangasem, The Kwan Lie di Buleleng, dan Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana.

Disi kami tidak akan membahas semuanya tapi hanya Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih di Jembrana sekilas tentang kehidupan Beliau dan Makamnya yang sering di kunjungi turis/peziarah dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Lampung, hingga peziarah yang datang dari Negeri Jiran seperti Trengganu Malaysia.

HABIB ALI BIN UMAR BIN ABU BAKAR BAFAQIH

KH. Habib Ali Bafaqih dilahirkan dari pasangan Habib Umar dan Syarifah Nur, Beliau lahir pada tahun 1890 di Banyuwangi. Menjelang usia 20 tahun, atau sekitar tahun 1910, Sayyid Ali “berlayar” ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya. Keberangkatan ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Sanusi, ulama terkemuka di Banyuwangi pada masa itu. Beliau mukim di Siib Ali (Mekah) lebih kurang tujuh tahun lamanya. Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air dan menambahkan ilmunya di Pondok pesantren di Jombang yang di asuh oleh Kyai Wahab Abdullah. Selain mendalami ilmu Al Quran di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh.Jauh sebelum beliau mendirikan Pondok Pesantren “Syamsul Huda” di Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana, Beliau mengajar di Madrasah Khairiyah selama setahun di daerah kelahirannya Banyuwangi. Perjalanan ke Bali beliau lakukan perjalan ini atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said, seorang ulama besar di Loloan. Mulailah Syiar Islam berbinar di Loloan dengan makin bertambahnya ulama setingkat Kyai Sayyid Ali Bafaqih.

Baru pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda yang kini telah meneteskan ribuan ulama, da’i dan ustazah. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Mereka belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah.Tak terkecuali ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya lalu hijrah ke Loloan sekitar awal abad 19.

KH. Habib Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 pada usia 107 tahun. Karena perjuangan dan kegigihanya untuk menyebarkan atau mensyiarkan agama Islam dan juga ketinggian ilmunya maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Bali. Kini Makam beliau banyak di kunjungi atau diziarahi orang dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Lampung, tak kurang dari 10 Bus pariwisata yang datang ke Loloan. Syiar Islam di Bali pada masa silam telah meninggalkan sejumlah “Karya Besar” yang pada masanya kini dapat dijadikan landasan kikih bagi syiar Islam di masa-masa yang akan datang. Kampung Loloan telah menjadi legenda syiar Islam yang tetap hidup di Bali.

Makam Habib Ali beralamat Jln. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana. Beliau di makamkan di Area Pondok Pesantren “Syamsul Huda” .

Datuk H. Abdurrahman Bin Datuk H. Mahmud, Loloan Barat

Datuk H. Abdurrahman Bin Datuk H. Mahmud, Loloan Barat
DATUK H. ABDURRAHMAN BIN DATUK HAJI MAHMUD
Berkelanalah, Lalu Kembali ke Kampung Halaman

Beliau lahir pada tahun 1907 di Loloan Barat dengan nama Muhammad Qasim dalam keluarga Ulama Bugis-Melayu Loloan. Ketika kecil Abdurrahman belajar agama dari kedua orang tuanya, namun menginjak usia 10 tahun beliau dikirim ke daerah Pengastulan untuk mengaji Al-Qur'an kepada Tuan Guru Abdul Hamid hingga berusia 18 tahun. Pada tahun 1925 Datuk Haji Mahmud mengirimkan Muhammad Qasim remaja ke Jazirah Arabia, tepatnya ke kota Suci Mekkah yang waktu itu memang menjadi tempat tujuan belajar bagi masyarakat Islam Nusantara.

Di kota Mekkah beliau bermukim di kediaman Syeikh Isa Palembang yang sudah menjadi penduduk tetap kota Mekkah dan belajar berbagai disiplin ilmu agama dari sejumlah ulama besar yang mengajar di sana. Diantara guru-guru beliau adalah Syeikh Alwi Al-Maliki, Syeikh Umar, Syeikh Hamdan al-Maghrabi serta seorang ulama besar ilmu hadits asal Palestina.

Di kota suci ini pula beliau bertemu dengan para santri Indonesia yang lain seperti Zainuddin Pancor, Wahid Hasyim Jombang dan Ambo Dalle’ Sulawesi. Di antara teman beliau yang paling akrab adalah Wahid Hasyim. Menurut penuturan beliau ketika masih hidup, setiap hari beliau dan Wahid Hasyim pergi ke pedalaman dan bermain bola bersama orang-orang Baduwi. Dan malam harinya sepulang dari bermain bola, Wahid Hasyim yang saat itu sedang suka menulis, acapkali mengirimkan essai tentang watak dan kebiasaan orang Baduwi ke majalah Jumhuriyah. Beliau belajar di kota suci selama kurang lebih sembilan tahun.

Sepulang dari Kota Mekkah, Muhammad Qasim kemudian pulang ke kampung halaman dengan menyandang nama baru, Datuk Haji Abdurrahman. Belum lama beliau menetap di Bali, Datuk Haji Abdurrahman merasa tidak nyaman karena ketika itu terjadi perpecahan di tengah masyarakat muslim Loloan yang di picu oleh perbedaan pandangan fiqh antara Ustadz Ali Bafaqih dan Ustadz Semarang, dua orang ulama yang lebih dahulu pulang dari kota Mekkah daripada beliau.

Oleh karena itu beliau pun pergi ke Rembang dan mengaji kitab kepada Kyai Musthofa. Selain belajar kepada Kyai Musthofa, beliau juga belajar sejarah kepada Bisri Mushtofa yang tidak lain adalah teman sekamar beliau selama di Rembang. Namun tak selang beberapa lama beliau pindah ke Jombang untuk berjumpa dengan teman lamanya Wahid Hasyim.

Karena pertemanannya dengan Kyai Wahid Hasyim, keberadaan beliau di pesantren Jombang lebih diposisikan sebagai tamu daripada sebagai santri. Beliau sering disuruh memijat Kyai Hasyim Asy’ari dan acapkali mendapat bagian menjadi imam sholat karena keunggulan di bidang ilmu Tajwid Tajwid dan kefasihan bacaan al-Qur’an yang beliau miliki.

Tak selang beberapa lama, Datuk Haji Abdurrahman mengutarakan masalah yang membuatnya pergi meninggalkan kampung halamannya dan berniat untuk menetap di pesantren Kyai Hasyim. Namun keinginan tersebut tidak mendapat restu dari Kyai Hasyim Asy’ari. Menurut pendapat Kyai Hasyim umat Islam di Bali akan lebih membutuhkan kehadiran beliau ketimbang umat Islam di tanah Jawa. Setelah mendengar pendapat Kyai Hasyim Asy`ari tersebut, beliau pun kemudian pulang ke Bali dan mulai mengajarkan ilmu agama di Loloan Barat.

Ketika awal-awal beliau menetap di pulau Bali, beliau aktif mengajar ilmu agama hingga ke daerah-daerah pelosok sebagai guru GAH (guru agama honorium). Namun setelah menderita sakit, beliau kemudian hanya mengajar di rumah hingga akhirnya pada tahun 1940 rumah kediaman beliau berubah menjadi pesantren diberi nama Darut Ta`lim.

Di masa penjajahan Jepang, ketika terjadi perbedaan pendapat di antara ulama lokal dalam masalah fiqhiyah (yakni masalah didirikannya dua masjid dengn jarak yang berdekatan), Datuk Guru Ilyas mengirim surat kepada para pelajar Indonesia yang berada di Kota Mekkah untuk mendapatkan putusan hukum dari para Ulama yang ada di sana. Tak selang beberapa lama datanglah Kyai Wahab Hasbullah dari tanah Jawa sebagai jawabannya dengan membawa keputusan hukum.

Disamping membawa fatwa hukum, Kyai Wahab Hasbullah juga tampil menjajakan NU di tengah-tengah ulama lokal. Menurut Datuk Haji Abdurrahman Kyai berkata: “Saya ingin menjajakan saya punya obat kepada tuan-tuan, jika cocok alhamdulillah jika tidak cocok tidak apa-apa” dan obat yang dimaksud adalah Nahdhatul Ulama.

Dari pertemuan inilah Datuk Haji Abdurrahman kemudian terlibat aktif ke dalam pembidanan NU dan bersama-sama Datuk Guru Nuh dan Ustadz Ali Bafaqih mensosialisasikan NU kepada masyarakat muslim Bali. Ketika NU sudah menjadi Partai politik, mau tidak mau Datuk Abdurrahman yang sebenarnya merupakan ulama yang tidak suka dengan politik praktis akhirnya terlibat.

Setelah terjadi Gestapu, tepatnya pada tanggal 30 November 1965 Datuk Haji Abdurrahman menurunkan santri-santrinya bersma Anshor dan TNI untuk mengadakan penangkapan terhadap pentolan PKI yang mengadakan rapat rahasia. Dalam penggerebekan rapat rahasia PKI di Tegal Badeng (Ladang Hitam) dua orang sipil dan seorang tentara gugur tertembak oknum PKI. Salah seorang yang gugur tersebut adalah santri pesantren Darut Ta`lim, kang Paimin. Gugurnya tiga orang ini kemudian menjadi sebab terjadinya aksi balasan GP Anshor dan ABRI mengadakan penyerbuan terbuka keesokan harinya dan mengakibatkan ratusan anggota PKI mati terbunuh.

Setelah penyederhanaan partai menjadi GOLKAR, PPP dan PDI Datuk Haji Abdrurrahman pun meninggalkan arena politik. Beliau kembali tampil sebagai seorang ulama yang sabar, santun dan menjadi tempat bertanya masyarakat, ustadz-ustadz muda dan para ulama.

Sementara dalam mengelola pondok pesantren, beliau tetap mempertahankan pendidikan bandungan dan tidak mengembangkannya kepada model klasikal apalagi model pendidikan modern hingga beliau tutup usia pada 2003 di usianya yang ke 97. Karena beliau ingin hidup tidak dibedakan dengan masyarakat, beliau pun dimakamkan di pemakaman umum komunitas Bugis-Melayu yang terletak di kelurahan Loloan Timur.

Disadur kembali oleh Rifkil Halim Muhammad

TILAWAH QURAN JUZ 30 SYEKH ALI JABER